Indonesia Youth Forum 2014: Terdampar di Negeri Khalifatul Khamis

Alhamdulillah, aku dan mbak Inayah mendarat dengan selamat di bandara Betoambari, Bau Bau. Meskipun, awalnya aku merasa lumayan kaget dengan proses landing yang terasa kasar. Seketika, aku mengamati lingkungan di kawasan bandara. Lapangan lepas berukuran kecil yang mungkin lebih pantas untuk disebut bandara mini. Kulangkahkan kakiku menuju terminal kedatangan yang terasa amat asing bagiku. Bagaimana tidak? aku tak tahu aku sedang berada di pulau mana, bahkan aku juga tak tahu kota yang aku singgahi ini bernama apa? Yang aku tahu, aku baru saja menaiki pesawat rute Makassar - Bau-Bau.


Bandara Betoambari Kota Bau-Bau
Bandara Betoambari Kota Bau-Bau

Seperti biasa, kerumunan orang menawarkan jasa taksi, ojek dan lain sebagainya ketika kami sampai di terminal bandara. Namun, ada satu hal yang berbeda. Taksi di kota ini bukan seperti taksi yang sering kita jumpai di perkotaan. Taksi di sini adalah taksi mobil pribadi bermerk Avanza. Setelah melewati proses negosiasi, akhirnya kami harus membayar Rp 50.000 untuk sampai ke pelabuhan.

Kami pun memulai petualangan kami di sebuah kota yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya. Melewati jalan-jalan kecil yang penuh dengan pohon-pohon besar di sisi kanan dan kiri. Melewati jembatan dan melewati kerumunan orang-orang yang membuatku tak henti-hentinya tersenyum. Tersenyum karena terkagum dengan semuanya. Perjalanan yang sangat jauh dari kata 'nyaman'. Namun, menurutku perjalanan seperti inilah yang akan memberikan pelajaran banyak padaku dan mbak Inayah. Sungguh, kami ingin menelurusi lebih lanjut kota yang sering disebut dengan Negeri Khalifatul Khamis ini.

Sesampainya di pelabuhan, kami dikagetkan dengan suasana kota yang begitu ramai. Kami tak menyangka, jika di pulau terpencil seperti ini terdapat restoran siap saji dan beberapa bank-bank besar lainnya. Kami segera memasuki pintu masuk pelabuhan untuk mencari informasi terkait jadwal keberangkatan kapal ke Wakatobi. Namun, sayangnya sampai pukul 20.00 WITA kami tak mendapatkan kepastian sama sekali. Kami hanya dibingungkan dengan asumsi-asumsi masyarakat sekitar tentang kemungkinan keberangkatan kapal. Hal yang membuat kami lebih teriris lagi adalah kapal yang baru saja tiba di pelabuhan harus menginap semalam dulu. Padahal besok siang acara IYF 2014 sudah akan dimulai. Sontak, kami kaget dan merasa pasrah sepasrah-pasrahnya. Kulihat mbak Inayah sudah tak kuat lagi ingin meneteskan air mata di pelupuk matanya. Merasa bingung dengan rencana yang Allah berikan kepada kami. Namun, kami tak ingin menyerah. Kami harus tetap sampai di Wakatobi bagaimanapun caranya. Sempat ingin menyewa kapal agar kami dapat sampai di Wakatobi tepat waktu. Namun, harga yang relatif mahal menyurutkan pemikiran kami. Kami pun mencari alternatif untuk pergi ke pulau lain lagi, yaitu pulau Tomia. Pulau yang tak kami ketahui, namun kami nekat untuk pergi ke sana. Kami sempat masuk dan menaikkan barang-barang kami ke dalam kapal. Namun, mbak Inayah merasa tak tega jika kami harus menaiki kapal kayu kecil seperti itu selama 10 jam di tengah-tengah lautan lepas.

Kami baru menyadari bahwa Wakatobi merupakan singkatan dari empat pulau besar di kabupaten itu. Wa= Wangi-wangi, Ka= Kaledupa, To= Tomia dan Bi= Binongko. Sungguh, kami belum tahu apa-apa tentang tempat yang menjadi destinasi kami. Jika, kami nekatuntuk pergi ke Tomia, otomatis kami terlalu membuang energi dan uang. Akhirnya, kami memutuskan untuk menginap semalam dulu di pulau yang tidak pernah terlintas di benak kami dan mencoba mengikhlaskan untuk tidak ikut acara grand opening IYF.

Rute out of the box yang kami ambil
Rute out of the box yang kami ambil

Rute out of the box yang kami ambil
Rute out of the box yang kami ambil

Selangkah demi selangkah, tiap penginapan kami tanyai demi memastikan harga yang sesuai dengan kocek kami. Akhirnya, kami menemukan penginapan seharga Rp 75.000 per malam untuk satu kamar. Kami menyewa dua kamar, satu untukku dan satu untuk mbak Inayah. Selepas meletakkan barang-barang yang sedari tadi menemani kegelisahan kami, kami memutuskan untuk makan malam demi melepas penat. Dengan bertemankan gemerlapnya pasar malam dan suara riak ombak nan syahdu, kami menikmati nasi gorengala kota Bau-Bau, pulau Buton. Memang sedikit mahal, jika dibandingkan dengan harga nasi goreng di pulau Jawa. Tapi, apa boleh buat kami butuh makan untuk meneruskan kehidupan kami.

Setelah sedikit terhibur dengan makan malam, kami memutuskan untuk pulang dan mencoba mengirim tugas dengan koneksi internet. Karena modem Smartfren dan simcardthree-ku (3) tak ada sinyal sama sekali, mbak Inayah meminjamkan modem dan simcardTelkomsel kepadaku untuk aku aktifkan. Namun, sepertinya badan ini sudah terlalu lelah dan tak kuat lagi untuk mengirim tugas. Akhirnya, aku tertidur selepas mengaktifkan kartu perdana baru.

Keesokan harinya, aku dikagetkan dengan hilangnya HP-ku. Padahal, kamarku terkunci dan aku masih ingat betul bahwa aku meletakkan HP-ku di kasur. Kamera dan laptop masih tergeletak lepas di meja samping pintu. Aku tertegun melihat fenomena ini. Semuanya seolah-seolah terjadi secara berturut-turut. Kali ini, aku benar-benar down danspeechless. Mbak Inayah dan pemilik penginapan pun sudah membantu untuk mencari HP-ku. Namun, apa daya, mungkin memang harus begitu alur ceritanya.

Aku berusaha melupakannya dan mencoba pergi ke pelabuhan bersama mbak Inayah untuk memastikan keberangkatan kapal. Tiba-tiba ada seorang pria berjaket menghampiri mbak Inayah dan bertanya, "Mbaknya mau ke Wakatobi juga ya untuk acara IYF?". Sontak, kami kaget mendengar pertanyaan itu. Dia bernama mas Radit, seorang mahasiswa jurusan Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Betapa bahagianya kami saat kami bertemu dengan orang yang senasib dengan kami, yang sama-sama tidak mendapatkan kepastian kapal. "Belum ada kabar kapal mbak," tambah mas Radit. Entah mau bagaimana lagi ketika telinga kami mendengar kabar itu. Yang terpenting, kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk tidak telat menghadiri IYF 2014. Laparnya perut kami pun akhirnya menuntun kami untuk singgah ke sebuah warung. Membeli sop saudara yang 'katanya' makanan khas daerah sini. Seperti biasa, kocek kami lumayan terkuras untuk menyantap makanan yang menurutku seperti sop daging.

Sop Saudara
Sop Saudara

Setelah mengobrol satu sama lain, kami menjadi lumayan akrab dan memutuskan untuk berkeliling kota Bau-Bau dengan menyewa mobil Avanza. Aku ragu awalnya, tapi akhirnya akupun meng-iyakan tawaran mbak Inayah dan mas Radit setelah mendengarkan mitos bahwa "Jika kami belum ke keraton, kami belum dianggap bersinggah di pulau Buton."

Sebelum kami berkeliling, kami mendapat kabar gembira bahwa kapal ke Wanci akan berangkat malam ini. Akhirnya, kami memesan tiket dan kamar kapal terlebih dahulu dengan arahan supir. Kota ini memiliki tradisi, ketika kamar kapal telah dipesan, maka kasur di dalam kamar harus digulung. Kami sama sekali tak tahu tradisi itu. Mungkin, kami akan kehabisan tiket, jika kami tak mendapat arahan dari sang supir yang baik hati ini.

Pelabuhan Bau-Bau
Pelabuhan Bau-Bau

Pelabuhan Bau-Bau
Pelabuhan Bau-Bau

Pelabuhan Bau-Bau
Pelabuhan Bau-Bau

Patung kepala naga di dekat pelabuhan
Patung kepala naga di dekat pelabuhan
Kami berkeliling kota Bau-Bau dari dataran rendah ke dataran tinggi. Kota ini sungguh indah. Kami dapat melihat laut secara langsung ketika kami sedang berada di dataran tinggi. Kami pun juga dapat melihat padatnya perumahan di sela-sela pemandangan benteng Wolio yang disinyalir sebagai benteng terbesar nomor tiga di dunia. Kami mengunjungi air terjun yang airnya begitu jernih dan segar, kantor walikota yang begitu kokoh, keraton yang penuh dengan cerita unik dengan ornamen adat-adat islami, pusat kebudayaan Wolio yang menarik untuk dipelajari, pantai Nirwana yang mempunyai segudang pasir putih, resort apik dengan jembatan yang begitu indah dan tulisan besar Bau-Bau ala tulisan Hollywood di benua Amerika. Tak hanya itu saja, kami juga mencicipi jajanan khas kota Bau-Bau yang bernama 'kambewe'. Jajanan dari jagung yang ditumbuk dan dicampur dengan gula merah. Mantap sekali jajanan ini. Terasa pas dan legit sekali di lidah. Sungguh, pemandangan dan keunikan di sana masih sangat asri dan terjaga. Kami bertiga tak henti-hentinya untuk meneriakkan kata 'wow' saat sampai di setiap sudut kota Bau-Bau. Baru kusadari, inilah tujuan Allah mendamparkan kami di negeri Khalifatul Khamis.

Pemandangan perkotaan dari dataran tinggi Bau-Bau
Pemandangan perkotaan dari dataran tinggi Bau-Bau

Benteng terbesar ketiga di dunia
Benteng terbesar ketiga di dunia

Air Terjun
Air Terjun

Kantor Walikota Bau-Bau
Kantor Walikota Bau-Bau

Patung ekor naga di dekat kantor walikota
Patung ekor naga di dekat kantor walikota

Keraton Bau-Bau
Keraton Bau-Bau

Tiang kapal di Keraton Bau-Bau (Legenda mengungkapkan dulunya kota Bau-Bau adalah lautan)
Tiang kapal di Keraton Bau-Bau (Legenda mengungkapkan dulunya kota Bau-Bau adalah lautan)

Pusat Kebudayaan Wolio
Pusat Kebudayaan Wolio

Pantai Nirwana
Pantai Nirwana

Pantai Nirwana
Pantai Nirwana

Pantai Nirwana
Pantai Nirwana

Resort Bau-Bau
Resort Bau-Bau

Tugu tulisan Bau-Bau
Tugu tulisan Bau-Bau

Pemandangan di dekat tugu tulisan Bau-Bau
Pemandangan di dekat tugu tulisan Bau-Bau

Kambewe, jajanan khas Bau-Bau
Kambewe, jajanan khas Bau-Bau

Setelah puas berkeliling kota Bau-Bau seharian, kami menyempatkan untuk makan dan mandi di kamar mandi umum. Kami juga menyempatkan untuk berkunjung ke rumah orang tua angkat mas Radit. Beliau begitu baik memberikan tumpangan kepada mas Radit selama berada di kota Bau-Bau, meskipun beliau adalah tante dari temannya mas Radit di UNAIR. Kami pun disambut hangat dengan hidangan makan malam sebelum kami pergi berlayar dan terombang-ambing di lautan lepas.

Keluarga baru di Bau-Bau (Orang tua angkat mas Radit)
Keluarga baru di Bau-Bau (Orang tua angkat mas Radit)

Sesampainya kami di pelabuhan, kami pun menempati kamar yang telah kami pesan siang tadi. Aku tak dapat menahan senyum ini. Sungguh, ini pengalaman yang begitu indah dan berkesan. Bertemu dengan orang-orang baru yang baik hati di pulau kecil yang sangat indah. Lampu-lampu dermaga seolah-seolah menyampaikan ucapan selamat tinggal kepada kami. Suara deburan ombak dan dinginnya udara lautan membuatku tak ingin melewatkan detik-detik berlabuhnya kapal dari dermaga pelabuhan. Keharmonisan alam tersimpan dan terkenang indah dalam tidur lelapku di perjalanan malam itu.

Kapal kayu yang kami naiki dari Bau-Bau menuju Wanci (Wakatobi)
Kapal kayu yang kami naiki dari Bau-Bau menuju Wanci (Wakatobi)

[bersambung]

0 komentar: