Indonesia Youth Forum 2014: Ketinggalan Pesawat di Makassar

"Selamat datang di bandara internasional Sultan Hasanuddin Makassar. Jam menunjukkan pukul 14.45, dimana terdapat perbedaan waktu satu jam lebih cepat antara Surabaya dan Makassar. Silahkan cek kembali barang bawaan Anda agar tidak ada satupun barang yang tertinggal......". Begitulah cuplikan arahan pramugari yang terdengar di telingaku waktu itu. Rasanya sempat tak percaya, jika aku sekarang benar-benar ada di Makassar. Sebuah kota yang pertama kali kudengar dari teman SD-ku yang bernama Wildan. Dia berasal dari Makassar dan memutuskan untuk pindah ke Demak karena alasan orang tua yang berpindah tugas.


Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar
Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar


"Dik, kita harus bergerak cepat setelah turun dari pesawat ini. Kita akan melanjutkan penerbangan ke Kendari dengan tidak ada kepastian kapal atau kita harus cari alternatif lain dari Makassar agar  bisa sampai di Wakatobi tepat waktu," kata mbak Inayah.

Aku mengangguk dengan wajah polos yang sebenarnya mengisyaratkan kepanikan yang luar biasa. Pikiran-pikiran negatif terbang lepas di atas kepalaku. Aku tak dapat membayangkan betapa terjalnya perjalananku kali ini untuk menuntut ilmu di acara IYF. Bahkan, pikiran ini telah mengimajinasikan kegagalan mengikuti IYF hanya karena masalah tidak ada transportasi.

Kami bergegas untuk menuju terminal kedatangan bandara internasional yang menurutkukeren abis. Bandara  luas dengan arsitektur minimalis menyambut kedatangan kami dengan hangatnya. Kaki kami serentak melangkah menuju tempat pengambilan bagasi. Aku hanya berdiri, terdiam mengamati satu persatu koper yang keluar dari mesin pengambilan bagasi. Entah waktu yang tidak berpihak pada kami atau mungkin Allah punya kehendak lain. Koper kami tak segera muncul, meskipun detik demi detik terus berjalan dengan riangnya. Akhirnya, kami membagi tugas. Aku bertugas untuk mengambil bagasi dan mbak Inayah bertugas untuk mencari informasi mengenai rute alternatif di loket-loket pembelian tiket.

Aku pun berjalan menuju pintu keluar dan menunggu mbak Inayah tepat di samping pagar kerumunan orang-orang yang sedang menanti sanak-saudara ataupun menawarkan jasa taksi. Sempat terhambat oleh satpam yang tidak percaya bahwa koper-koper yang kubawa telah diteliti oleh petugas bandara. Aku dikira mengambil koper milik orang lain. Maklum, pada waktu itu aku membawa koper milik mbak Inayah juga. Tapi, alhamdulillah masalah itu terselesaikan dengan penjelasan lisanku.

Kukeluarkan HP yang berada dalam kantong celana untuk segera menelpon mbak Inayah. Menanyakan kepastian nasib kami untuk menuju IYF 2014. Namun, tak ada satupun panggilanku yang dijawab. Aku hanya dapat memasang wajah sok cool dengan sesekali menjawab pertanyaan orang-orang yang berada di luar pagar terminal kedatangan. "Dik Luthfi!!," teriak mbak Inayah. Alhamdulillah, akhirnya orang yang dicari muncul juga. Aku pun mendorong dua koper berat dengan menggendong tas punggung hitamku yang mungil. Menghampiri mbak Inayah yang terlihat menampakkan wajah gembira.

Ada penerbangan alternatif dari Makassar ke Bau-Bau. Setelah dari Bau-Bau, kami dapat menaiki kapal menuju pelabuhan Wanci, pulau wangi-wangi, Wakatobi yang 'katanya' setiap hari pasti ada. Sempat ada perasaan gembira waktu itu. Namun, perasaan itu seketika sirna ketika mas Fanbul, delegasi IYF yang sudah sampai Kendari mengatakan bahwa semua kapal tak bisa melaut akhir-akhir ini, baik dari Kendari ataupun Bau-Bau. Angin dan ombak laut terlalu keras. Aku seketika teringat tentang berita tenggelamnya kapal di Wanci yang baru saja terjadi beberapa hari yang lalu. Kabar yang sepertinya mampu mengiris hati kami dan membuat kami bingung. Aku berusaha menelpon panitia, namun nomor mereka tidak ada satupun yang aktif. Kami pun menayakan rute alternatif dan perihal keberangkatan kapal ke karyawan-karyawan bandara di sekitar loket penjualan. Sungguh tragis, tak ada satupun yang paham mengenai tiket kapal.

Kami berusaha menelpon mas Fanbul lagi untuk meminta saran, kami harus ke Bau-Bau atau tetap ke Kendari. Mas Fanbul menyarankan kami untuk melanjutkan penerbangan ke Kendari. Kami pun segera pergi ke dalam bandara untuk check in ulang. "Maaf mbak, mas,check in pesawat Sriwijaya-nya sudah close gate. Coba kalian ke bagian transit." Kami pun berlari menuju ke bagian transit yang sebenarnya kami tak tahu dimana bagian transitnya. Aku menelpon Rina, delegasi dari SMAN 4 Magelang. "Ayo mas, kalian di mana? Ini kami udah di dalam pesawat. Pesawatnya mau take-off." Kami hanya berlari ke sana ke mari mencari tempat transit dengan sesekali kembali ke bagian check-in  dan melihat layar pengumuman.

Seorang satpam bandara menghampiri kami dan menanyakan apa yang sedang kami lakukan. Aku tertahan oleh satpam dan mbak Inayah terlanjur keluar dari tempat terminal keberangkatan. Padahal, seseorang yang sudah keluar tidak dapat masuk terminal jika tidak memiliki tiket. Otomatis kami harus rela berkomunikasi satu sama lain dengan terhalang pintu keluar. Aku di bagian dalam terminal dan mbak Inayah di bagian luar terminal. Sungguh, ada maksud apa dengan ini semua? Ternyata, satpam yang menahanku dari tadi adalah seorang calo tiket yang membandrol harga tiket ke Bau-Bau senilai Rp 900.000. Aku pun pergi meninggalkan calo tiket itu dan menuju loket Lion Air untuk memesan tiket ke Bau-Bau. Terlihat antrian yang cukup panjang di depan loket, padahal penerbangan ke Bau-Bau 15 menit lagi.

Mbak inayah dengan paniknya bertanya kepada petugas loket tentang kepastian tiket pesawat ke Bau-Bau. Seorang karyawan bandara yang sejak tadi berdiri di samping kami menawarkan bantuan kepada kami untuk memesankan tiket lewat jalur dalam. Meskipun, berawal dari keraguan, kami akhirnya pasrah memberikan KTP kami kepada bapak yang memiliki perawakan kecil itu. Beberapa menit kemudian, bapak itu memberikan secarik kertas kode booking pesawat untuk kami serahkan ke petugas loket. Namun, sungguh malang sekali nasib kami. Saat kami hendak menyerahkan kode booking, listrik bandara tiba-tiba padam. Seketika kami syok luar biasa melihat fenomena ini. Kami diarahkan untuk menuju pintu belakang loket, karena server komputer perlu waktu yang cukup lama ketika dihidupkan kembali. Akhirnya, kami pun memesan tiket pesawat Bau-Bau seharga Rp 600.000-an (harga asli tanpa calo). Meskipun, tiket pesawat yang kami dapat hanyalah secarik tiket tulis tangan yang kelihatan seperti tidak asli. Mau bagaimana lagi? Beberapa menit lagi pesawat kami akan take-off. Tentunya, kami tak ingin ketinggalan pesawat untuk kedua kalinya.

Tiket Tulis Tangan
Tiket Tulis Tangan


Dengan perasaan panik yang luar biasa, kami sempat lupa mengecek barang bawaan kami ke metal detector. Aku dengan santainya masih memanggul tas punggung dengan gantungan kamera dan peralatan elektronik lainnya. Seketika satpam bandara menegur kami. Koper yang seharusnya berlabelkan nama maskapai masing-masing, koper kami berlabelkan tulisan "SECURITY". Sungguh, kami tak dapat berkata apa-apa. Yang kami pikirkan hanyalah berlari cepat untuk menuju ruang tunggu keberangkatan. Dengan membawa koper yang tidak sempat untuk dibagasikan, kami naik dengan eskalator menuju ruang tunggu. Berlari menuju petugas bandara dan menanyakan tentang pesawat tujuan Bau-Bau. Alhamdulillah, pesawat kami belum take-off.

Ruang Tunggu Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar
Ruang Tunggu Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar


Ruang Tunggu Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar
Ruang Tunggu Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar


Kami pun menaiki pesawat wings yang mungil ketika panggilan mulai terdengar. Seketika kami bingung, kami harus duduk di kursi nomor berapa. Sementara, tiket kami adalah tiket tulis tangan yang tidak tercantum nomor kursi penerbangan. Pramugari dengan sigap meneliti satu per satu daftar nama penumpang. Namun, nama kami tidak tercantum dalam daftar penumpang. Kami tak tahu harus bagaimana. Akhirnya sang pilot pun mempersilahkan kami untuk menunggu terlebih dahulu sampai ada kursi kosong yang dapat kami tempati. Pikiran konyol yang sempat terlintas di pikiranku adalah sungguh sangat tidak mungkin jika kami harus naik pesawat dengan keadaan berdiri. Alhamdulillah, akhirnya kami duduk di kursi paling depan di sebelah pintu darurat. Meskipun, sebenarnya terkesan lumayan horor. Kami memegang tanggungjawab yang besar, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di pesawat yang kami tumpangi.

Penerbangan kami ke kota Bau-Bau pun dimulai. Kota yang sama sekali kami tak tahu bagimana keadaan dan keberadaannya. Kota yang terasa sangat awam terdengar di telinga kami. Kami memberanikan diri untuk mencari jalur yang berbeda agar tetap bisa sampai di Wakatobi tepat waktu. Sungguh luar biasa ketika melihat pemandangan luar pesawat. Gugusan pulau kecil terlihat indah dengan ditemani warna-warni laut dan awan putih yang lembut. Keajaiban keindahan alam ciptaan Allah yang sangat menakjubkan.

Pemandangan luar pesawat
Pemandangan luar pesawat


Pemandangan luar pesawat
Pemandangan luar pesawat


Pemandangan luar pesawat
Pemandangan luar pesawat


Pemandangan luar pesawat
Pemandangan luar pesawat


Kami pun sampai di bandara yang kecil dengan penuh senyum dan harapan agar dapat sampai di Wakatobi tepat waktu.

Bandara Betoambari Bau-Bau
Bandara Betoambari Bau-Bau


Bandara Betoambari Bau-Bau
Bandara Betoambari Bau-Bau



[bersambung]

0 komentar: