|
Bandara Matahora, Wakatobi |
Sungguh sangat tak terasa kini sudah waktunya aku harus pulang. Pulang ke daerah asal untuk membawa ribuan pengalaman. Pengalaman yang menurutku sangat luar biasa hebatnya. Diberikan kesempatan untuk mengenal lebih dekat keindahan Indonesia. Sebuah negeri yang benar-benar kaya raya dengan budaya dan keistimewaan alamnya. Aku bahkan tak mengira, jika aku terus-menerus menemukan detil keindahan Indonesia di setiap perjalananku ini
|
Bandara Matahora, Wakatobi |
|
Tiket Wakatobi-Kendari |
Memang, aku akui hal yang paling berkesan dari pengalaman adalah perjalanannya. Karena dari perjalanan, aku menjadi lebih bersyukur atas Kebesaran dan Kasih Sayang Tuhan. Aku bahkan tak pernah mengira, jika mimpi untuk mengikuti acara ini akan benar-benar tercapai. Hanya satu hal yang sangat kuingat. Ya, aku ingat jika aku sangat berkeinginan dan berusaha kuat waktu itu. Berusaha untuk mewujudkan sebuah mimpi yang seharusnya lebih pantas untuk disebut sebagai sarana. Pergi ke Wakatobi dan mengikuti rangkaian acara ini hanyalah sebuah sarana introspeksi diri. Bertanya pada diri sendiri tentang seberapa besarkah keimanan yang telah terpupuk dalam hati. Dan melalui jendela pesawat ini, tiba saatnya bagiku untuk berefleksi tentang hakikat sebuah perjalanan yang telah aku lalui.
|
Jendela pesawat Wakatobi-Kendari |
|
Pesawat ketika meninggalkan Wakatobi |
|
Pesawat ketika meninggalkan Wakatobi |
***
|
Bandara Haluoleo, Kendari |
Waktu menunjukkan pukul 11.45 WITA, kini aku telah berada di bandara Haluoleo, Kendari. Sebuah bandara yang seharusnya mengantarkanku menuju bandara Matahora di Wakatobi. Namun, karena jalan yang kupikirkan berbeda dengan jalan Tuhan dan harapan yang kuharapkan berbeda dengan harapan Tuhan. Bandara ini tidak menjadi puzzleperjalanan kedatanganku menuju daratan tempat munculnya teori Surgaisme itu.
Pesawat komersil rute Kendari-Surabaya yang akan aku tumpangi sore ini mengalami keterlambatan selama empat jam. Sehingga, kami harus rela menunggu sampai pukul 21.00 WITA. Beberapa orang mungkin akan mengeluh dengan kondisi seperti ini. Namun, tidak bagiku. Karena berkat keterlambatan inilah, aku seakan menemukan salah satu jawaban pertanyaanku tentang hakikat sebuah perjalanan. Sebuah perjalanan yang seharusnya kumaknai sebagai sebuah penemuan. Ya, benar! Proses untuk menemukan keajaiban dan keberadaan Tuhan. Kita tahu bahwa kita tak dapat menemukan dan melihat wujud asli dari Tuhan. Namun, tenanglah! Kita masih dapat menemukan dan melihat wujud dari kebesaran yang Dia miliki. Dan aku mulai menemukan dan melihatnya di terminal bandara ini.
Hakikat sebuah perjalanan adalah proses untuk terus belajar. Belajar untuk rendah hati, rela berkorban dan selalu memberi. Memberi apa yang aku dapatkan dan apa yang telah aku miliki. Tak peduli, meski hanya sebatas mengantarkan mangkok cuci tangan ke teman-teman yang tengah asyik menyantap makanan. Dan di dalam sebuah warung makan sempit bandara ini, aku belajar tentang makna sebuah kebersamaan. Berbagi canda dan tawa dengan mas Jefri, mbak Retno, mbak Citra, mbak Inayah dan tentunya dengan mas Jedy. Dengan menatap keadaan luar bandara, hati ini tak kuasa untuk mengucap syukur dengan apa yang disebut dengan takdir. Meskipun, tak jarang kita menganggap takdir sebagai sebuah musibah atau suatu hal yang buruk. Padahal, kita sama sekali tak tahu tentang episode kehidupan kita selanjutnya. Apakah akan berlanjut bahagia atau akan tetap terkesan buruk?
|
Kebersamaan dengan teman-teman delegasi lain di bandara Haluoleo, Kendari |
|
Kebersamaan dengan teman-teman delegasi lain di bandara Haluoleo, Kendari |
Hakikat sebuah perjalanan juga merupakan proses untuk selalu tersenyum. Tersenyum karena melihat Husnul, Palupi, Julio, mas Farisal dan teman-teman delegasi lain yang tak sengaja bertemu dneganku di bandara ini. Mungkin memang benar bahwa bahagia itu sederhana. Sesederhana melihat, berjabat tangan dan tersenyum kepada mereka.
Setelah menunggu selama empat jam, pesawat kami akhirnya datang juga. Kami pun segera beranjak dari ruang tunggu dan masuk ke dalam pesawat melalui lorong sempit yang cukup panjang. Aku pikir konsep lorong ini seperti sebuah skybridge yang akrab disebut-sebut di kalangan orang-orang properti. Akupun semakin tak menyangka, jika aku diberikan kesempatan untuk merasakan suasana dalam pesawat di malam hari. Ya, beginilah orang kampung yang sangat terpesona dengan alat transportasi udara ini dan bahkan sangat terobsesi untuk menjadi bagian dari salah satu maskapai penerbangan.
|
Skybridge menuju pesawat |
|
Suasana di dalam pesawat Kendari-Makassar |
Sesampainya di bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar, kami beranjak untuk menuju ke pesawat berikutnya dengan diantar oleh sebuah bus bandara. Kami melanjutkan perjalanan menuju bandara Internasional Juanda, Surabaya. Pemandangan gemerlapnya kota pahlawan terlihat menyambut kami dengan hangat tepat di pukul 22.00 WIB. Aku, mbak Inayah dan mas Jedy pun beranjak menuju tempat pengambilan bagasi dan menyatakan salam perpisahan dengan mas Jefri dan temannya yang hendak melanjutkan perjalanan ke Malang. Aku, mbak Inayah dan mas Jedy pun segera masuk ke sebuah Damri yang telah terparkir di depan bandara megah ini. Kulihat tangan mas Agus melambai-lambai, mengisyaratkan bahwa dia sudah masuk ke dalam Damri. Sungguh tak diduga lagi. Kami bertemu dengan mas Agus yang sebenarnya telah meninggalkan Wakatobi sejak upacara penutupan. Ternyata, dia menikmati keindahan kota Bau-Bau, tempat tersesatku dengan mbak Inayah beberapa hari yang lalu. Bus Damri berwarna biru tua ini pun melaju, menyusuri kota Surabaya yang penuh dengan kenangan. Kenangan indah bagi siapa-siapa yang menganggapnya indah.
|
Bandara internasional Sultan Hasanuddin, Makassar |
|
Bandara internasional Juanda, Surabaya |
Sesampainya di terminal Bungurasih, aku, mbak Inayah dan mas Jedy melanjutkan perjalanan menuju Solo. Dan lagi, lagi, aku mendapatkan pelajaran. Pelajaran untuk sabar, cekatan dan kreatif untuk berebut kursi di dalam bus. Jumlah armada bus tak sebanding dengan banyaknya penumpang malam hari ini. Sehingga, aku harus rela untuk menjadi penjaga koper, sedangkan mbak Inayah dan mas Jedy berusaha untuk berlari mendapatkan kursi. Perjalanan kami menuju kota The Spirit of Java akhirnya dimulai setelah tiga kali gagal berebut kursi dengan penumpang lain.
Perjalananku di Indonesia Youth Forum 2014 telah selesai. Banyak kenangan indah dan pelajaran yang berarti yang dapat aku gali dari perjalanan singkat ini. Sebuah perjalanan yang memberikan pelajaran padaku tentang hakikat perjalanan yang sesungguhnya. Aku sama sekali tak boleh kecewa gagal mengikuti grand-opening karena tersesat di kota Bau-Bau. Jika aku tidak tersesat di negeri Khalifatul Khamis itu, aku akan mendapatkan pengalaman yang berbeda. Berbeda dari apa yang telah aku dapatkan saat ini. Ya, pasti berbeda. Dengan mengalungkan selendang khas Wakatobi pemberian mbak Inayah, aku berjalan menuju kos-kosan. Mengamati keadaan kota Solo yang sepertinya lebih indah untuk diresapi. Dan di antara decit roda koper yang berbunyi, aku bergumam “inilah hakikat sebuah perjalanan yang sebenarnya.”
|
Keluarga angkat di Wakatobi. dari kiri (Shabrin, mas Ishaq, bapak angkat, ibu angkat, kakak angkat, Julio dan Prabowo) |
Selesai
0 komentar: