Indonesia Youth Forum 2014: Jika Aku Menjadi Seperti Mereka

Langit Wakatobi pagi ini terlihat mendung. Gugusan awan pekat terus-menerus mengikutiku dan teman-temanku yang sedang meluncur menuju pemukiman suku Bajo. Aku yang duduk di kursi paling belakang sejenak meresapi butiran-butiran air hujan yang jatuh dan mengalir di jendela mobil. Dan hingga akhirnya aku melihat gapura “Welcome to Bajo Village, Wakatobi Regency” tegak menghadangku. Sepertinya, dia masih sangat antusias menyambut rombonganku di antara rintiknya air hujan pagi ini. Aku dan keempat temanku pun seketika berlari menuju sebuah mushola yang telah dibanjiri oleh lautan manusia berkaos orange.


Gapura suku Bajo
Gapura suku Bajo

Lautan kaos orange di depan mushola daerah Mola
Lautan kaos orange di depan mushola daerah Mola
Pagi ini, kami akan mengadakan kegiatan bersih-bersih di daerah pemukiman suku Bajo. Sebuah suku yang memiliki nilai historis bagi kabupaten Wakatobi. Hingga saat ini, suku Bajo masih sangat mengandalkan lautan sebagai tempat memperjuangkan kebutuhan hidup. Mereka masih saja tinggal di rumah panggung yang terletak di pinggiran lautan. Bahkan, sejarah mengungkapkan bahwa dulunya pinggiran laut ini adalah lautan lepas. Aku seketika membayangkan kehidupan mereka yang harus rela beristirahat di tengah pasangnya air laut yang tak terduga. Ditambah lagi, kotornya lingkungan dan kelembapan tempat yang sangat tinggi memicu berkembangnya sebuah bibit penyakit.

Ketika hujan tak lagi mengguyur daratan Wakatobi, kami mengawali kegiatan ini dengan memunguti sampah yang berserakan di antara rumah-rumah penduduk. Di sepanjang perjalanan, sesekali kami menyapa penduduk yang terlihat bersantai di teras mereka. Dengan senyum simpul yang diselingi tawa, mereka membalas sapaan kami dengan ramah. Kami pun melanjutkan perjalanan berburu sampah di antara padatnya pemukiman suku yang memiliki kebiasaan menggunakan bedak adem ini.

Bersih-bersih pemukiman suku Bajo
Bersih-bersih pemukiman suku Bajo

Masyarakat suku Bajo yang memiliki kebiasaan menggunakan bedak adem
Masyarakat suku Bajo yang memiliki kebiasaan menggunakan bedak adem

Selama kegiatan berlangsung, aku belajar tentang seluk beluk suku yang bermukim di daerah Mola ini. Masyarakat di sini dapat dikategorikan memiliki kesadaran rendah terkait dengan hal pembuangan sampah. Terbukti, kami mengumpulkan banyak sampah rumah tangga tepat di bawah rumah-rumah panggung mereka. Sungguh ironis sebenarnya melihat fenomena ini. Namun, buat apa berkomentar tanpa ada aksi? Akupun menyadari bahwa aku juga pernah dan terpaksa membuang sampah di sembarang tempat. Aku juga tak selalu membuang sampah yang aku lihat di jalanan. Seketika pikiran ini melayang memikirkan hal itu. Apakah aku adalah tipe orang yang hanya akan bergerak bila mengikuti forum-forum seperti ini? Jika memang tidak, tentunya aku tak boleh malu memunguti sampah yang sering berserakan di lingkungan rumah dan kampusku. Forum ini ibaratnya menjadi ajang untuk belajar dan menjaga konsistensi diri yang ‘katanya’ ingin mengabdikan diri kepada ibu pertiwi. Aku harus banyak belajar tentang menjaga konsistensi idealisme ini.

Kunjungan ke masyarakat suku Bajo
Kunjungan ke masyarakat suku Bajo
Masyarakat suku Bajo
Masyarakat suku Bajo

Masyarakat suku Bajo
Masyarakat suku Bajo
Meskipun masyarakat ini masih tergolong sederhana, namun ada beberapa hal yang aku suka dengan masyarakat ini. Entah kenapa terkadang aku berpikir, bagaimana rasanya jika aku menjadi seperti mereka? Tentunya aku akan pintar berenang, membudidayakan ikan, pintar menyelam atau bahkan aku akan pintar menjahit jala yang telah rusak. Mungkin, aku juga akan selalu menikmati indahnya Wakatobi dikala fajar dan senja menyapa. Hal-hal seperti itu tak akan aku dapatkan di kehidupanku dan tempat tinggalku saat ini. Sungguh, tiap-tiap orang memiliki keunikan kehidupannya masing-masing yang tak dapat kita sesali satu dan lainnya.

Kolam ikan masyarakat suku Bajo
Kolam ikan masyarakat suku Bajo

Masyarakat Bajo sedang menjahit jala
Masyarakat Bajo sedang menjahit jala

Anak suku Bajo yang memancing ikan hanya dengan menggunakan sehelai senar pancing
Anak suku Bajo yang memancing ikan hanya dengan menggunakan sehelai senar pancing

Rintik hujan tiba-tiba datang lagi. Aku dan teman-temanku seketika bergegas mencari mobil orang tua angkat masing-masing. Dengan mengikuti langkah Shabrin, Prabowo dan kedua temanku, kami mencari dan menengok satu per satu mobil yang terparkir di sekitaran jalanan suku Bajo. Hasilnya nihil. Kami tak menemukan mobil orang tua angkat kami. Padahal, kini kami telah berada di gapura depan suku Bajo. Prabowo sibuk dengan ponselnya mencoba menghubungi supir yang biasanya mengantar-jemput kami. Kami pun terpaksa kembali menyusuri jalanan untuk menemukan mobil berpelat merah itu.

Ketika mobil telah kami temukan, kami bergegas untuk menuju Sombu. Sebuah area divingdan snorkling yang sangat terkenal keindahannya di Wakatobi. Kegiatan yang satu ini sangat mengusik diri ini. Bagaimana tidak? Aku tentunya tak mau melewatkan kesempatan emas ini. Namun, sayangnya aku tak bisa berenang. Padahal, sewaktu kecil rumahku berada di bantaran kali di daerah Demak. Aku dulu juga pernah berlatih berenang. Namun, aku masih belum bisa juga. Bahkan, aku beberapa kali tenggelam.

Sombu
Sombu

Sombu
Sombu


Tak lama sejak kami sampai di Sombu, hujan deras turun diikuti dengan angin kencang di daerah lautan. Aku tambah berpikir tentang keinginanku untuk ‘mencoba’ menikmati pemandangan bawah laut Wakatobi. Namun, ya sudahlah. Mungkin, Allah punya rencana lain di balik kejadian ini. Akhirnya, aku hanya bisa memandangi teman-temanku yang sedang asyik berenang di lautan dengan sesekali menengadahkan pandanganku ke atas langit. Menikmati butiran-butiran hujan yang beraroma khas Wakatobi.

Ketika hujan mengguyur Sombu
Ketika hujan mengguyur Sombu

Seperti layaknya tadi pagi, kami tak menemukan mobil kami lagi. Kami pun setia menunggu supir untuk beranjak pulang menyantap makan siang yang telah disediakan. Aku dan beberapa teman lainnya pun terlihat tengah sibuk mencari kerang dan pasir Wakatobi untuk dibawa pulang ke daerah kami masing-masing. Maklum, pasir dan kerang di sini sangatlah bagus untuk dijadikan cenderamata. Setelah mobil kami datang, kami pun berpamitan dengan teman-teman kami lainnya yang belum juga dijemput oleh orang tua angkat mereka.

***
Brakkk... Aku hanya bisa merebahkan tubuhku di atas tempat tidur berwarna biru tua yang senada dengan warna dinding di kamar ini. Sepertinya, aku telah lelah sekali akibat beraktivitas seharian tadi. Kini yang aku inginkan hanyalah tidur dan melupakan kegiatan selanjutnya yang rencananya akan diadakan siang ini. Terdengar jahat dan licik memang! Tapi, beginilah pikiran seorang lelaki yang sudah terlalu lelah seperti aku.

“Woy, bangun!,” suara teriakan Julio terdengar jelas di telingaku. Dengan kondisi jiwa yang masih belum utuh, akupun bersiap-siap menuju sebuah padang rumput untuk melakukan sebuah aksi. Aksi penanaman pohon massal yang dilakukan untuk mengawali pembangunan Tugu Cagar Biosfer di daratan Wakatobi ini. Acara yang dihadiri oleh puluhan pejabat ini menggundang decak kagum tersendiri bagiku. Sebuah pulau terpencil yang ternyata menyimpan semangat perubahan yang bergelora. Seperti apa yang dikatakan oleh Renald Kasali, seorang pendiri Rumah Perubahan bahwa “perubahan itu adalah proses untuk menjadi sesuatu berbeda dari yang biasanya”. Dan menurutku, Wakatobi telah melakukan proses itu. Bahkan, di daratan pulau Wangiwangi ini, aku menjumpai ruang hotspot terbuka yang terletak di tugu penghargaan UNESCO yang khusus didirikan untuk masyarakat Wakatobi. Sungguh, inilah perubahan yang sesungguhnya.

Peresmian Tugu Cagar Biosfer
Peresmian Tugu Cagar Biosfer

Peletakan batu pertama Tugu Cagar Biosfer
Peletakan batu pertama Tugu Cagar Biosfer

Tugu UNESCO di daratan Wakatobi
Tugu UNESCO di daratan Wakatobi

Similir angin yang lumayan kencang menghempaskan segala yang ada di padang rumput sore ini. Aku yang sedari tadi berjalan hilir mudik, ke sana kemari tak kunjung juga menemukan pohon yang bertuliskan namaku. Kulihat teman-temanku yang lain telah menemukan pohon yang bertuliskan nama mereka. Dengan menikmati udara sore yang dibalut dengan suasana mendung, aku mengambil salah satu pohon yang tak bernama untuk kutanam di tanah Wakatobi ini. Aku berpikir bukankah yang terpenting adalah esensi daripada penanaman ini? Sama sekali tak ada masalah entah  ada nama kita atau tidak dalam bambu peyangga pohon ini. Guyuran air dari tanki di pinggiran padang rumput seolah menjadi pembuka guyuran air hujan sore ini.

Penanaman pohon
Penanaman pohon

Ya, lagi-lagi Wakatobi diguyur hujan lebat sore ini. Aku dan mbak Inayah pun seketika berlari di bawah guyuran air hujan yang terasa semakin deras. Kurasakan setiap butir hujan yang jatuh membasahi tubuhku. Sangat kurasakan. Begitu indah dan damainya seperti keindahan ketika aku melihat gugusan langit fajar dan senja. Biarkanlah aku menjadi seperti ini. Menjadi sesosok manusia yang memiliki kehidupan dan kesenangan tersendiri. Aku memang diam. Tapi, bukan berarti aku terdiam. Karena dalam diamku, aku selalu berpikir bahwa aku sama sekali tak mengharap menjadi seperti suku Bajo, teman-teman IYF atau bahkan menjadi seseorang yang lain. Jika aku benar-benar menjadi seperti yang lain, aku rasa aku tidak akan lagi menjadi diriku yang sebenarnya. Menjadi diriku yang suka melihat keadaan langit, meresapi udara pagi, sore dan malam hari, merasakan lembutnya butiran hujan dan mengamati setiap detil kejadian tentang manusia. Aku tetaplah aku. Bukan yang lain.

Bersambung...

0 komentar: