Indonesia Youth Forum 2014: Menguak Secuil Surga di Daratan Matahora

Hari ini adalah hari Jumat, hari keduaku berada di Wakatobi. Kurenggangkan tubuhku yang terasa sedikit kaku dengan melihat pemandangan di luar kamar. Tadi malam aku bergulat dengan perasaan tak enak karena tak kebagian tempat tidur di kamarku. Semua temanku terlihat telah terlelap. Aku yang baru saja menikmati suasana pantai mendadak bingung akan tidur di tempat tidur yang mana. Apalagi, aku termasuk anak baru di kamarku ini. Keluar dan menumpang di kamar sebelah pun seketika jadi ide brilliant bagiku. Namun, itu semua tak mungkin. Sekarang hari telah malam, kututup ponsel lipat pinjaman dari bapak angkatku dan membaringkan tubuh di antara delegasi lain yang telah tertidur.

Meskipun begitu, aku tak menyesal dan kecewa. Pemandangan pantai pagi ini seolah menjadi pemicu kebahagiaanku. Pohon-pohon kelapa, pasir pantai yang putih dan sinar mentari di ufuk timur menambah keindahan panorama resort ini. Riak debur ombak pun seolah tak ingin ketinggalan menyampaikan sambutan hangatnya kepadaku dan para delegasi. Dunia seakan betah bercengkerama dengan kami pagi ini. Namun, kami harus segera bersiap-siap untuk mengikuti agenda kami selanjutnya.

Pemandangan di pantai Patuno Resort
Pemandangan di pantai Patuno Resort

Pemandangan di pantai Patuno Resort
Pemandangan di pantai Patuno Resort
Suasana ramai ruang makan terdengar dari radius beberapa meter. Aku menjumpai meja makan yang penuh sesak dan keramaian. Sepertinya, para peserta tak ingin melewatkan jamuan khas daratan Matahora. Aku harus cepat-cepat berburu makanan. Tentunya, aku tak ingin kehabisan makanan lagi seperti kemarin siang. Canda, tawa, senyuman dan kekompakkan hadir mewarnai sorak-sorai delegasi yang sibuk mengantri makanan.

Patuno Resort
Patuno Resort

Patuno Resort
Patuno Resort

***

Pagi ini, aku dan teman-teman delegasi melaksanakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) di beberapa tempat yang telah ditentukan. Untuk pertama kalinya, aku mengenal teman-temanku yang memiliki orang tua angkat yang sama. Shabrin dari Wakatobi, Prabowo dari Lubuklinggau, Julio dari Aceh dan Mas Ishaq. Kami dan beberapa teman yang lain melaksanakan FGD di Liya Bahari. Sebuah tempat yang sangat indah dan eksotis. Aku bahkan tak dapat berkata apa-apa ketika melihat beberapa perahu kecil bersatu padu dengan pasir pantai yang putih. Kami berdiskusi dan mendengarkan presentasi dari beberapa delegasi di atas surau kecil di tengah pantai. Luar biasa. Rasanya aku ingin membiarkan diriku menikmati dan merasakan alam yang begitu indahnya. Jika aku memiliki banyak waktu di sini, aku ingin menghabiskan waktuku untuk duduk berdiam meresapi Liya Bahari yang begitu memukau pandangan mataku.

FGD di Patuno Resort
FGD di Patuno Resort

FGD di Liya Bahari
FGD di Liya Bahari

Liya Bahari
Liya Bahari

Liya Bahari
Liya Bahari
Di antara semilirnya angin pantai, aku belajar banyak dari para delegasi lain. Mereka begitu kreatif dan teguh untuk menjadi change maker di lingkungan masing-masing. Bahkan, mereka tak malu untuk menjadi penggerak meskipun sekadar memunguti sampah, bermain dengan adik-adik jalanan, mengajari masyarakat pola hidup sehat dan berwirausaha dengan memanfaatkan barang-barang bekas. Mereka dengan ikhlas menanamkan jiwa semangat kepada anak-anak untuk meraih impian-impian mereka. Aku tahu hal itu pasti tidaklah mudah. Namun, kuyakin lewat langkah-langkah seperti itulah negara kita akan menjadi negara yang makmur dan bahagia. Makmur karena memiliki pemuda-pemuda yang loyal dan bahagia karena memiliki anak-anak negeri yang tak hanya pandai berkhayal.

Keindahan Wakatobi tak hanya sebatas itu saja. Kabupaten yang mayoritas terdiri dari lautan ini masih memiliki banyak destinasi yang tak kalah indah dari Liya Bahari. Kami pun diajak berjalan-jalan mengunjungi tempat-tempat apik di sela-sela waktu istirahat acara. Sopir pak bos ini sungguh baik hati. Dia rela mengantarkan kami mengunjungi pantai di daerah Liya Mawi, mata air Kontamale dan Tekosapi. Tak ada satupun tempat yang tak mengesankan menurutku. Semuanya indah dan terawat.

Pantai di daerah Liya
Pantai di daerah Liya

Liya Mawi
Liya Mawi

Mata air Kontamale
Mata air Kontamale

Mata air Kontamale
Mata air Kontamale

Mata air Tekosapi
Mata air Tekosapi

Acara diskusi dilanjutkan dengan Master Class yang diisi oleh Mr. David dari Ford Foundation, mbak Ira dari Jembatani, kepala suku Bajo yang merupakan salah satu suku di Wakatobi dan beberapa tokoh hebat lainnya. Kami belajar banyak hal tentang pentingnya peran media dan frundaising (pendanaan/sponsor) dalam mengembang proyek sosial yang dikerjakan oleh pemuda. Salah satu kelemahan pemuda ketika ingin bergerak berkontribusi adalah kekurangan keuangan. Bukan tidak mungkin, seorang pemuda dapat bergerak mundur jika berurusan dengan hal yang satu ini. Meskipun, niat dan keyakinan masih menjadi hal yang mendasar. Namun, keuangan juga sangat berperan penting bagi suksesnya suatu proyek sosial. Kami dibekali tentang cara menarik simpati perusahaan agar mau menyeponsori proyek sosial yang kami kerjakan. Kami juga dibekali cara untuk menyusun proposal sponsorship yang baik dan benar. Usahakan untuk memilih perusahaan yang berkaitan erat dengan acara atau proyek sosial yang kita jalankan. Yakinkan perusahaan tentang hal-hal positif yang dapat kita berikan kepadanya. Susah memang. Namun, inilah tantangannya. Tantangan untuk terus berjuang dan bekerja keras. Meminta kepastian dan konfirmasi dari perusahaan yang menjadi sasaran sumber pendanaan kita.

Mr. David dari Ford Foundation
Mr. David dari Ford Foundation

Mbak Ira dari Jembatani
Mbak Ira dari Jembatani
Aku kadang berpikir bahwa Allah benar-benar Maha Besar Atas Segala Sesuatu. Menurutku, Dia juga merupakan Perencana yang Baik. Ilmu yang kudapatkan dari perjalanan awal hingga berada saat ini mendengarkan presentasi bukanlah sebuah kebetulan. Aku bahkan tak pernah membayangkan bisa berada di antara pemuda hebat se-Indonesia ini. Kudengarkan presentasi dari para tokoh dengan sesekali mengobrol dengan mas Farisal dari Surabaya dan mas Radit yang sepertinya kerap berada di dekatku dalam acara ini.
***

Petir tiba-tiba datang dan disambung dengan huyuran hujan deras membasahi daratan Wakatobi. Listrik padam, suara klakson mobil dan keramaian obrolan delegasi mewarnai pekatnya gedung Darma Wanita malam ini. Mobil-mobil orang tua angkat terlihat telah berjajar di depan ruangan. Menanti anak-anak angkat untuk segera diamankan menuju singgahsana yang telah disediakan. Beberapa kali kucoba melihat keluar, namun supir yang kucari tak kunjung kutemui. Aku hanya duduk terdiam di kursi terdepan dan mengamati teman-temanku yang sedang hilir mudik mencari informasi, mengobrol atau sekadar berfoto.

Tiba-tiba suara teriakan terdengar memanggilku.  Aku disuruh untuk masuk ke mobil yang kini telah akrab denganku. Seperti biasa, si supir terlihat penuh perjuangan, mencarikan payung untuk kami, ‘sang anak angkat dadakan’. Kami pun menyusuri jalanan Wakatobi yang beberapa di antaranya terlihat dalam keadaan gelap gulita. Meskipun diawali dengan perasaan ragu, kami akhirnya bersinggah ke sebuah kedai minuman. Minuman ini sejeniswedhang jahe, namun lebih terasa seperti wedhang kacang hijau. Kami pun mengakhiri malam ini dengan melanjutkan perjalanan menuju rumah orang tua angkat. Merebahkan badan di atas kasur yang empuk dan diwarnai dengan canda mas Ishaq serta cerita malam antara aku, Shabrin dan Julio.

Bersambung...

0 komentar: