Indonesia Youth Forum 2014: Belajar dari Sebuah Kesederhanaan

“Ayo, ayo cepat-cepat berangkat!,” teriak sang sopir yang terlihat telah menyiapkan mobil di halaman rumah. Kami yang juga telah siap mengenakan pakaian batik pun bergegas untuk masuk ke dalam mobil. Malam ini adalah malam upacara penutupan Indonesia Youth Forum 2014 di aula Patuno Resort. Namun, sepertinya kami tidak akan mengikuti upacara penutupan itu. Mas Ishaq dan Julio harus segera menuju pelabuhan Wanci. Mereka harus meninggalkan Wakatobi untuk menuju Kendari malam ini. Sopir si bos sepertinya sudah terlalu lelah. Sehingga, malam ini dia izin untuk istirahat selepas menuju pelabuhan Wanci. Alhasil, kami harus merelakan untuk tidak mengikuti agenda terakhir ini. Sulit memang bagiku yang notabene tidak mengikuti upacara pembukaan acara ini. Apakah aku juga akan merelakan upacara penutupan? Akhirnya, setelah melalui sebuah diskusi, mobil kami berputar arah untuk menuju aula resort. Aku, Prabowo dan Shabrin tetap akan mengikuti upacara penutupan. Kami berencana untuk menumpang mobil delegasi lain ketika upacara penutupan telah selesai. Entah nanti bagaimana jadinya, yang terpenting aku harus ikut upacara penutupan. Sangat rugi rasanya jika aku yang tak bisa mengikuti upacara pembukaan, mendadak juga tak bisa mengikuti upacara penutupan.


Grandopening yang kulewatkan
Grandopening yang kulewatkan

Grandopening yang kulewatkan
Grandopening yang kulewatkan

Grandopening yang kulewatkan
Grandopening yang kulewatkan

Grandopening yang kulewatkan
Grandopening yang kulewatkan
Upacara penutupan malam ini diisi dengan pentas budaya Wakatobi yang ditampilkan dalam bentuk tarian. Tarian yang memiliki makna bahwa laut menjadi faktor terpenting bagi masyarakat Wakatobi mengundang tepuk tangan para penonton. Aku yang duduk di barisan terdepan pun tak dapat menahan kedua tanganku untuk ikut mengapresiasi salah satu kekayaan budaya Wakatobi itu. Acara pentas malam ini disambung dengan acara berbagi cerita para delegasi yang telah ditunjuk oleh panitia. Salah satu diantaranya adalah mahasiswa Haluoleo, Kendari. Sosok laki-laki sederhana asal pulau Tomia ini bercerita tentang suksesnya proyek sosial yang dia jalankan. Dia memberdayakan masyarakat melalui bulu babi. Suatu hal yang seringkali kita remehkan dan tak kita hiraukan. Memang, kekuatan skill kreatif dan inovatif adalah hal yang sangat berharga. Melalui skill yang luar biasa itu, dia berhasil diterima di salah satu universitas negara matahari terbit untuk menempuh jenjang pendidikan S2. Akhirnya, diapun dinobatkan sebagai Best Delegate Indonesia Youth Forum 2014. Mungkin, memang sikap sederhanalah yang akan mempermudah alur kehidupan kita. Seperti dia, sosok yang luar biasa inspiratif yang kutemui malam ini!.

Pentas budaya di upacara penutupan IYF 2014
Pentas budaya di upacara penutupan IYF 2014

Kiri (best delegate IYF 2014), kanan (mbak Inayah, delegasi dari UNS)
Kiri (best delegate IYF 2014), kanan (mbak Inayah, delegasi dari UNS)
Sangat cepat sekali rasanya. Ya, cepat. Aku bahkan tak menyangka, jika malam ini aku harus berpisah dengan acara paling luar biasa yang pernah ada di kehidupanku. Aku melihat para tokoh telah selesai menyampaikan kesan dan pesan mereka. Kini, aku dan teman-teman pun dapat puas untuk berfoto bersama dan bertukar senyuman satu sama lain. Sebuah interaksi dan kegiatan yang seolah mengisyaratkan bahwa kami tak ingin berpisah dalam waktu secepat ini. Ruang aula resort yang semula tenang, kini terdengar ramai oleh luapan emosi para delegasi. Mungkin, malam ini akan jadi malam yang paling berkesan bagi kami semua yang berada di dalam ruangan ini. Akupun sejenak menyempatkan diri untuk menandatagani Deklarasi Kebangkitan Pemuda di selembar MMT yang berada di atas panggung aula.

Foto bersama di acara penutupan IYF 2014
Foto bersama di acara penutupan IYF 2014

Mbak Ratna, bupati Wakatobi dan aku
Mbak Ratna, bupati Wakatobi dan aku

Delegasi dari UNS
Delegasi dari UNS

Deklarasi Kebangkitan Pemuda
Deklarasi Kebangkitan Pemuda
Setelah selesai berfoto dengan beberapa delegasi, aku, Prabowo dan Shabrin segera menuju mobil seorang delegasi yang berasal dari SMA Negeri 1 Wangiwangi. Kebetulan sekali, mobil yang Rizki tumpangi ini kosong karena teman-temannya telah pulang seperti halnya teman kami, mas Ishaq dan Julio. Kami pun segera menyusuri jalanan Wakatobi yang terlihat sangat gelap. Ya, gelap sekali. Bahkan, terlihat sangat mencekam. Beberapa menit yang lalu, kami dikagetkan dengan isu kerusuhan masyarakat yang disebabkan oleh pengaruh minuman beralkohol. Mobil kami pun seketika berputar arah untuk menghindari aksi kerusuhan yang bisa saja memakan korban jiwa ini. Mobil kami pun melaju dengan cepat di antara kondisi jalanan yang sunyi dan senyap. Sesekali, aku melihat ke arah kanan dan belakang. Tak kujumpai apa-apa, selain salah satu mobil delegasi yang mengikuti kami menyelamatkan diri. Di situasi menegangkan ini, Rizki mengatakan bahwa biasanya dia menyimpan celurit di antara jok mobil dinas ayahnya. Sikap ini dilakukan sebagai langkah antisipasi terhadap hal-hal yang tak diinginkan. Daerah terpencil memang begini, keras! Namun, jangan takut! Karena sikap keras itu lambat laun memudar termakan oleh waktu.

Tiba-tiba mobil kami berhenti di antara kerumunan orang-orang yang sedang berjoget di tengah jalan. Kamipun hanya bisa termenung. Tak mengeluarkan suara sedikitpun. Aku mengamati sikap masyarakat setempat yang terlihat sedang asyik menikmati dentuman lagu,. “Berjoget di tengah jalan adalah kebiasaan masyarakat Wakatobi ketika ada pesta pernikahan Kita harus menunggu mereka berhenti berjoget dulu, baru kita bisa lanjut. Kalau tidak, kita yang tidak akan selamat,” ujar sopir dengan ucapan santai. Setelah sebuah lagu selesai diputar dan masyarakat berhenti berjoget, kami pun melanjutkan perjalanan menuju rumah orang tua angkat kami dengan selamat. Sungguh, pengalaman yang tak terlupakan. Terjebak dan merasakan secara langsung kejadian semacam ini. Ini bukan musibah, namun inilah sebuah pembelajaran. Sebuah pembelajaran yang sangat sederhana.

Keesokan harinya, aku, Shabrin dan Prabowo menghabiskan waktu seharian dengan berjalan-jalan menikmati Wakatobi. Kami menyempatkan diri untuk mengitari pasar, pusat oleh-oleh dan hal-hal menarik yang ada di Wakatobi. Perjalanan pagi ini diawali dengan menjemput adik-adik sang sopir di sebuah rumah yang terletak tak jauh dari rumah pak bos. Dengan keluguannya, sopir mengatakan bahwa adik-adiknya tak pernah naik mobil. Sehingga, diapun ingin sedikit menyenangkan hati adik-adiknya. “Ya, mumpung kita jalan-jalan to. Adik-adik saya ini tidak pernah naik mobil mas. Padahal mereka pengen sekali keresort. Tidak apa-apa to, saya ajak adik-adik saya?,” ungkap si sopir. Pagi ini, kami belajar tentang kesederhanaan lagi. Kesederhanaan seorang sopir yang dengan lugunya mengungkapkan keinginan terpendamnya pada kami.

Pasar Wakatobi
Pasar Wakatobi
Sekitaran pukul 10.00 WITA, aku dan Shabrin menemani Prabowo yang hendak menelusuri Wakatobi lebih dekat. Sedekat Prabowo ketika menyentuh karang-karang yang tumbuh subur di bawah laut Wakatobi. Kami pun melaju menuju hotel Wisata untuk meminjam perlengakapan menyelam. Semua orang tahu bahwa Wakatobi sangat terkenal dengan keindahan pemandangan bawah lautnya. Namun, kali ini, aku tak memikirkan lagi apakah aku akan menyelam atau tidak. Karena jelas, jawabannya adalah tidak. Tentu kalian sudah tahu apa alasannya.

Hotel Wisata
Hotel Wisata

Prabowo saat menyelam
Prabowo saat menyelam

Kulihat para turis domestik tengah merapatkan kapal kayunya di pinggiran dermaga Sombu. Dengan duduk bersila di ujung dermaga, aku dan Shabrin mengamati keindahan laut, langit dan aktivitas anak-anak Wakatobi yang bersatupadu. Aku berpikir tentang rencana Allah yang luar biasanya indah dan bermakna ini. Apakah kata kunci dari perjalanan ini adalah “sederhana” seperti yang kulihat pada sosok mahasiswa Haluoleo tadi malam? Mungkin saja iya dan mungkin saja tidak.

Pemandangan bawah laut Wakatobi dilihat dari atas permukaan laut
Pemandangan bawah laut Wakatobi dilihat dari atas permukaan laut

Aktivitas anak-anak Wakattobi saat menangkap ikan di perairan Sombu
Aktivitas anak-anak Wakattobi saat menangkap ikan di perairan Sombu

Kami pun melanjutkan perjalanan menuju dataran tertinggi Wangi-wangi di daerah Toliamba. Sebuah daerah yang terkenal dengan papan tulisan “Wakatobi” yang menjadi daya tarik tersendiri bagi para turis. Unik! Itulah Wakatobi dengan segudang ciri khas yang dimilikinya. Bahkan di daerah pesisir seeprti ini pun kami masih menjumpai dataran tinggi seperti ini. Setelah puas menikmati pemandangan dari atas, kami pun bergegas untuk kembali ke rumah. Dan di depan gang Wakatobi ini, kami melepas Shabrin yang hendak pulang ke rumahnya di penghujung senja hari ini.

Toliamba, puncak tertinggi Wakatobi
Toliamba, puncak tertinggi Wakatobi

Toliamba, puncak tertinggi Wakatobi
Toliamba, puncak tertinggi Wakatobi

Gang Wakatobi
Gang Wakatobi

Bersambung...

0 komentar: