Indonesia Youth Forum 2014: Hakikat Sebuah Perjalanan

Sinar mentari pagi ini kulihat telah terbit di ufuk timur. Aku, Prabowo dan tentunya pak sopir harus bersiap-siap untuk melaju menuju bandara Matahora. Sebuah bandara kebanggaan Wakatobi yang ternyata menjadi pemicu berkembangnya daerah terpencil ini.


Pak Hugua, bupati Wakatobi dua periode, berhasil meningkatkan perekonomian masyarakat melalui proyek pembangunan bandara. Ide bupati ini sebelumnya dianggap aneh dan terlalu terburu-buru oleh para pihak terkait. Membangun bandara di daerah terpencil yang sangat tidak relevan untuk dilakukan. Bahkan, tidak memberikan solusi pemecahan masalah. Namun, siapa yang menduga ide fantastic ini? Bandara yang sampai saat ini masih dalam tahap pembangunan  ternyata memberikan dampak positif bagi kabupaten Wakatobi. Melalui, bandara inilah seluruh sirkulasi perekonomian terjadi. Karena bandara pada hakikatnya mempermudah para turis untuk singgah ke Wakatobi. Hal ini tentunya memberikan kesempatan masyarakat untuk membuka lapangan pekerjaan sendiri yang berhubungan dengan pariwisata. Dan ternyata, memang benar! Kini keadaan Wakatobi menjadi lebih baik berkat adanya bandara ini. Pikiran untuk membangun sebuah bandara di Demak pun tiba-tiba muncul. Aku berharap pikiran ini akan segera terwujud.


Bandara Matahora, Wakatobi
Bandara Matahora, Wakatobi

Sungguh sangat tak terasa kini sudah waktunya aku harus pulang. Pulang ke daerah asal untuk membawa ribuan pengalaman. Pengalaman yang menurutku sangat luar biasa hebatnya. Diberikan kesempatan untuk mengenal lebih dekat keindahan Indonesia. Sebuah negeri yang benar-benar kaya raya dengan budaya dan keistimewaan alamnya. Aku bahkan tak mengira, jika aku terus-menerus menemukan detil keindahan Indonesia di setiap perjalananku ini

Bandara Matahora, Wakatobi
Bandara Matahora, Wakatobi

Tiket Wakatobi-Kendari
Tiket Wakatobi-Kendari

Memang, aku akui hal yang paling berkesan dari pengalaman adalah perjalanannya. Karena dari perjalanan, aku menjadi lebih bersyukur atas Kebesaran dan Kasih Sayang Tuhan. Aku bahkan tak pernah mengira, jika mimpi untuk mengikuti acara ini akan benar-benar tercapai. Hanya satu hal yang sangat kuingat. Ya, aku ingat jika aku sangat berkeinginan dan berusaha kuat waktu itu. Berusaha untuk mewujudkan sebuah mimpi yang seharusnya lebih pantas untuk disebut sebagai sarana. Pergi ke Wakatobi dan mengikuti rangkaian acara ini hanyalah sebuah sarana introspeksi diri. Bertanya pada diri sendiri tentang seberapa besarkah keimanan yang telah terpupuk dalam hati. Dan melalui jendela pesawat ini, tiba saatnya bagiku untuk berefleksi tentang hakikat sebuah perjalanan yang telah aku lalui.

Jendela pesawat Wakatobi-Kendari
Jendela pesawat Wakatobi-Kendari

Pesawat ketika meninggalkan Wakatobi
Pesawat ketika meninggalkan Wakatobi

Pesawat ketika meninggalkan Wakatobi
Pesawat ketika meninggalkan Wakatobi

***

Bandara Haluoleo, Kendari
Bandara Haluoleo, Kendari

Waktu menunjukkan pukul 11.45 WITA, kini aku telah berada di bandara Haluoleo, Kendari. Sebuah bandara yang seharusnya mengantarkanku menuju bandara Matahora di Wakatobi. Namun, karena jalan yang kupikirkan berbeda dengan jalan Tuhan dan harapan yang kuharapkan berbeda dengan harapan Tuhan. Bandara ini tidak menjadi puzzleperjalanan kedatanganku menuju daratan tempat munculnya teori Surgaisme itu.

Pesawat komersil rute Kendari-Surabaya yang akan aku tumpangi sore ini mengalami keterlambatan selama empat jam. Sehingga, kami harus rela menunggu sampai pukul 21.00 WITA. Beberapa orang mungkin akan mengeluh dengan kondisi seperti ini. Namun, tidak bagiku. Karena berkat keterlambatan inilah, aku seakan menemukan salah satu jawaban pertanyaanku tentang hakikat sebuah perjalanan. Sebuah perjalanan yang seharusnya kumaknai sebagai sebuah penemuan. Ya, benar! Proses untuk menemukan keajaiban dan keberadaan Tuhan. Kita tahu bahwa kita tak dapat menemukan dan melihat wujud asli dari Tuhan. Namun, tenanglah! Kita masih dapat menemukan dan melihat wujud dari kebesaran yang Dia miliki. Dan aku mulai menemukan dan melihatnya di terminal bandara ini.

Hakikat sebuah perjalanan adalah proses untuk terus belajar. Belajar untuk rendah hati, rela berkorban dan selalu memberi. Memberi apa yang aku dapatkan dan apa yang telah aku miliki. Tak peduli, meski hanya sebatas mengantarkan mangkok cuci tangan ke teman-teman yang tengah asyik menyantap makanan. Dan di dalam sebuah warung makan sempit bandara ini, aku belajar tentang makna sebuah kebersamaan. Berbagi canda dan tawa dengan mas Jefri, mbak Retno, mbak Citra, mbak Inayah dan tentunya dengan mas Jedy. Dengan menatap keadaan luar bandara, hati ini tak kuasa untuk mengucap syukur dengan apa yang disebut dengan takdir. Meskipun, tak jarang kita menganggap takdir sebagai sebuah musibah atau suatu hal yang buruk. Padahal, kita sama sekali tak tahu tentang episode kehidupan kita selanjutnya. Apakah akan berlanjut bahagia atau akan tetap terkesan buruk?

Kebersamaan dengan teman-teman delegasi lain di bandara Haluoleo, Kendari
Kebersamaan dengan teman-teman delegasi lain di bandara Haluoleo, Kendari

Kebersamaan dengan teman-teman delegasi lain di bandara Haluoleo, Kendari
Kebersamaan dengan teman-teman delegasi lain di bandara Haluoleo, Kendari

Hakikat sebuah perjalanan juga merupakan proses untuk selalu tersenyum. Tersenyum karena melihat Husnul, Palupi, Julio, mas Farisal dan teman-teman delegasi lain yang tak sengaja bertemu dneganku di bandara ini. Mungkin memang benar bahwa bahagia itu sederhana. Sesederhana melihat, berjabat tangan dan tersenyum kepada mereka.

Setelah menunggu selama empat jam, pesawat kami akhirnya datang juga. Kami pun segera beranjak dari ruang tunggu dan masuk ke dalam pesawat melalui lorong sempit yang cukup panjang. Aku pikir konsep lorong ini seperti sebuah skybridge yang akrab disebut-sebut di kalangan orang-orang properti. Akupun semakin tak menyangka, jika aku diberikan kesempatan untuk merasakan suasana dalam pesawat di malam hari. Ya, beginilah orang kampung yang sangat terpesona dengan alat transportasi udara ini dan bahkan sangat terobsesi untuk menjadi bagian dari salah satu maskapai penerbangan.

Skybridge menuju pesawat
Skybridge menuju pesawat

Suasana di dalam pesawat Kendari-Makassar
Suasana di dalam pesawat Kendari-Makassar

Sesampainya di bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar, kami beranjak untuk menuju ke pesawat berikutnya dengan diantar oleh sebuah bus bandara. Kami melanjutkan perjalanan menuju bandara Internasional Juanda, Surabaya. Pemandangan gemerlapnya kota pahlawan terlihat menyambut kami dengan hangat tepat di pukul 22.00 WIB. Aku, mbak Inayah dan mas Jedy pun beranjak menuju tempat pengambilan bagasi dan menyatakan salam perpisahan dengan mas Jefri dan temannya yang hendak melanjutkan perjalanan ke Malang. Aku, mbak Inayah dan mas Jedy pun segera masuk ke sebuah Damri yang telah terparkir di depan bandara megah ini. Kulihat tangan mas Agus melambai-lambai, mengisyaratkan bahwa dia sudah masuk ke dalam Damri. Sungguh tak diduga lagi. Kami bertemu dengan mas Agus yang sebenarnya telah meninggalkan Wakatobi sejak upacara penutupan. Ternyata, dia menikmati keindahan kota Bau-Bau, tempat tersesatku dengan mbak Inayah beberapa hari yang lalu. Bus Damri berwarna biru tua ini pun melaju, menyusuri kota Surabaya yang penuh dengan kenangan. Kenangan indah bagi siapa-siapa yang menganggapnya indah.

Bandara internasional Sultan Hasanuddin, Makassar
Bandara internasional Sultan Hasanuddin, Makassar

Bandara internasional Juanda, Surabaya
Bandara internasional Juanda, Surabaya

Sesampainya di terminal Bungurasih, aku, mbak Inayah dan mas Jedy melanjutkan perjalanan menuju Solo. Dan lagi, lagi, aku mendapatkan pelajaran. Pelajaran untuk sabar, cekatan dan kreatif untuk berebut kursi di dalam bus. Jumlah armada bus tak sebanding dengan banyaknya penumpang malam hari ini. Sehingga, aku harus rela untuk menjadi penjaga koper, sedangkan mbak Inayah dan mas Jedy berusaha untuk berlari mendapatkan kursi. Perjalanan kami menuju kota The Spirit of Java akhirnya dimulai setelah tiga kali gagal berebut kursi dengan penumpang lain.

Perjalananku di Indonesia Youth Forum 2014 telah selesai. Banyak kenangan indah dan pelajaran yang berarti yang dapat aku gali dari perjalanan singkat ini. Sebuah perjalanan yang memberikan pelajaran padaku tentang hakikat perjalanan yang sesungguhnya. Aku sama sekali tak boleh kecewa gagal mengikuti grand-opening karena tersesat di kota Bau-Bau. Jika aku tidak tersesat di negeri Khalifatul Khamis itu, aku akan mendapatkan pengalaman yang berbeda. Berbeda dari apa yang telah aku dapatkan saat ini. Ya, pasti berbeda. Dengan mengalungkan selendang khas Wakatobi pemberian mbak Inayah, aku berjalan menuju kos-kosan. Mengamati keadaan kota Solo yang sepertinya lebih indah untuk diresapi. Dan di antara decit roda koper yang berbunyi, aku bergumam “inilah hakikat sebuah perjalanan yang sebenarnya.”

Keluarga angkat di Wakatobi. dari kiri (Shabrin, mas Ishaq, bapak angkat, ibu angkat, kakak angkat, Julio dan Prabowo)
Keluarga angkat di Wakatobi. dari kiri (Shabrin, mas Ishaq, bapak angkat, ibu angkat, kakak angkat, Julio dan Prabowo)

Selesai

Indonesia Youth Forum 2014: Belajar dari Sebuah Kesederhanaan

“Ayo, ayo cepat-cepat berangkat!,” teriak sang sopir yang terlihat telah menyiapkan mobil di halaman rumah. Kami yang juga telah siap mengenakan pakaian batik pun bergegas untuk masuk ke dalam mobil. Malam ini adalah malam upacara penutupan Indonesia Youth Forum 2014 di aula Patuno Resort. Namun, sepertinya kami tidak akan mengikuti upacara penutupan itu. Mas Ishaq dan Julio harus segera menuju pelabuhan Wanci. Mereka harus meninggalkan Wakatobi untuk menuju Kendari malam ini. Sopir si bos sepertinya sudah terlalu lelah. Sehingga, malam ini dia izin untuk istirahat selepas menuju pelabuhan Wanci. Alhasil, kami harus merelakan untuk tidak mengikuti agenda terakhir ini. Sulit memang bagiku yang notabene tidak mengikuti upacara pembukaan acara ini. Apakah aku juga akan merelakan upacara penutupan? Akhirnya, setelah melalui sebuah diskusi, mobil kami berputar arah untuk menuju aula resort. Aku, Prabowo dan Shabrin tetap akan mengikuti upacara penutupan. Kami berencana untuk menumpang mobil delegasi lain ketika upacara penutupan telah selesai. Entah nanti bagaimana jadinya, yang terpenting aku harus ikut upacara penutupan. Sangat rugi rasanya jika aku yang tak bisa mengikuti upacara pembukaan, mendadak juga tak bisa mengikuti upacara penutupan.


Grandopening yang kulewatkan
Grandopening yang kulewatkan

Grandopening yang kulewatkan
Grandopening yang kulewatkan

Grandopening yang kulewatkan
Grandopening yang kulewatkan

Grandopening yang kulewatkan
Grandopening yang kulewatkan
Upacara penutupan malam ini diisi dengan pentas budaya Wakatobi yang ditampilkan dalam bentuk tarian. Tarian yang memiliki makna bahwa laut menjadi faktor terpenting bagi masyarakat Wakatobi mengundang tepuk tangan para penonton. Aku yang duduk di barisan terdepan pun tak dapat menahan kedua tanganku untuk ikut mengapresiasi salah satu kekayaan budaya Wakatobi itu. Acara pentas malam ini disambung dengan acara berbagi cerita para delegasi yang telah ditunjuk oleh panitia. Salah satu diantaranya adalah mahasiswa Haluoleo, Kendari. Sosok laki-laki sederhana asal pulau Tomia ini bercerita tentang suksesnya proyek sosial yang dia jalankan. Dia memberdayakan masyarakat melalui bulu babi. Suatu hal yang seringkali kita remehkan dan tak kita hiraukan. Memang, kekuatan skill kreatif dan inovatif adalah hal yang sangat berharga. Melalui skill yang luar biasa itu, dia berhasil diterima di salah satu universitas negara matahari terbit untuk menempuh jenjang pendidikan S2. Akhirnya, diapun dinobatkan sebagai Best Delegate Indonesia Youth Forum 2014. Mungkin, memang sikap sederhanalah yang akan mempermudah alur kehidupan kita. Seperti dia, sosok yang luar biasa inspiratif yang kutemui malam ini!.

Pentas budaya di upacara penutupan IYF 2014
Pentas budaya di upacara penutupan IYF 2014

Kiri (best delegate IYF 2014), kanan (mbak Inayah, delegasi dari UNS)
Kiri (best delegate IYF 2014), kanan (mbak Inayah, delegasi dari UNS)
Sangat cepat sekali rasanya. Ya, cepat. Aku bahkan tak menyangka, jika malam ini aku harus berpisah dengan acara paling luar biasa yang pernah ada di kehidupanku. Aku melihat para tokoh telah selesai menyampaikan kesan dan pesan mereka. Kini, aku dan teman-teman pun dapat puas untuk berfoto bersama dan bertukar senyuman satu sama lain. Sebuah interaksi dan kegiatan yang seolah mengisyaratkan bahwa kami tak ingin berpisah dalam waktu secepat ini. Ruang aula resort yang semula tenang, kini terdengar ramai oleh luapan emosi para delegasi. Mungkin, malam ini akan jadi malam yang paling berkesan bagi kami semua yang berada di dalam ruangan ini. Akupun sejenak menyempatkan diri untuk menandatagani Deklarasi Kebangkitan Pemuda di selembar MMT yang berada di atas panggung aula.

Foto bersama di acara penutupan IYF 2014
Foto bersama di acara penutupan IYF 2014

Mbak Ratna, bupati Wakatobi dan aku
Mbak Ratna, bupati Wakatobi dan aku

Delegasi dari UNS
Delegasi dari UNS

Deklarasi Kebangkitan Pemuda
Deklarasi Kebangkitan Pemuda
Setelah selesai berfoto dengan beberapa delegasi, aku, Prabowo dan Shabrin segera menuju mobil seorang delegasi yang berasal dari SMA Negeri 1 Wangiwangi. Kebetulan sekali, mobil yang Rizki tumpangi ini kosong karena teman-temannya telah pulang seperti halnya teman kami, mas Ishaq dan Julio. Kami pun segera menyusuri jalanan Wakatobi yang terlihat sangat gelap. Ya, gelap sekali. Bahkan, terlihat sangat mencekam. Beberapa menit yang lalu, kami dikagetkan dengan isu kerusuhan masyarakat yang disebabkan oleh pengaruh minuman beralkohol. Mobil kami pun seketika berputar arah untuk menghindari aksi kerusuhan yang bisa saja memakan korban jiwa ini. Mobil kami pun melaju dengan cepat di antara kondisi jalanan yang sunyi dan senyap. Sesekali, aku melihat ke arah kanan dan belakang. Tak kujumpai apa-apa, selain salah satu mobil delegasi yang mengikuti kami menyelamatkan diri. Di situasi menegangkan ini, Rizki mengatakan bahwa biasanya dia menyimpan celurit di antara jok mobil dinas ayahnya. Sikap ini dilakukan sebagai langkah antisipasi terhadap hal-hal yang tak diinginkan. Daerah terpencil memang begini, keras! Namun, jangan takut! Karena sikap keras itu lambat laun memudar termakan oleh waktu.

Tiba-tiba mobil kami berhenti di antara kerumunan orang-orang yang sedang berjoget di tengah jalan. Kamipun hanya bisa termenung. Tak mengeluarkan suara sedikitpun. Aku mengamati sikap masyarakat setempat yang terlihat sedang asyik menikmati dentuman lagu,. “Berjoget di tengah jalan adalah kebiasaan masyarakat Wakatobi ketika ada pesta pernikahan Kita harus menunggu mereka berhenti berjoget dulu, baru kita bisa lanjut. Kalau tidak, kita yang tidak akan selamat,” ujar sopir dengan ucapan santai. Setelah sebuah lagu selesai diputar dan masyarakat berhenti berjoget, kami pun melanjutkan perjalanan menuju rumah orang tua angkat kami dengan selamat. Sungguh, pengalaman yang tak terlupakan. Terjebak dan merasakan secara langsung kejadian semacam ini. Ini bukan musibah, namun inilah sebuah pembelajaran. Sebuah pembelajaran yang sangat sederhana.

Keesokan harinya, aku, Shabrin dan Prabowo menghabiskan waktu seharian dengan berjalan-jalan menikmati Wakatobi. Kami menyempatkan diri untuk mengitari pasar, pusat oleh-oleh dan hal-hal menarik yang ada di Wakatobi. Perjalanan pagi ini diawali dengan menjemput adik-adik sang sopir di sebuah rumah yang terletak tak jauh dari rumah pak bos. Dengan keluguannya, sopir mengatakan bahwa adik-adiknya tak pernah naik mobil. Sehingga, diapun ingin sedikit menyenangkan hati adik-adiknya. “Ya, mumpung kita jalan-jalan to. Adik-adik saya ini tidak pernah naik mobil mas. Padahal mereka pengen sekali keresort. Tidak apa-apa to, saya ajak adik-adik saya?,” ungkap si sopir. Pagi ini, kami belajar tentang kesederhanaan lagi. Kesederhanaan seorang sopir yang dengan lugunya mengungkapkan keinginan terpendamnya pada kami.

Pasar Wakatobi
Pasar Wakatobi
Sekitaran pukul 10.00 WITA, aku dan Shabrin menemani Prabowo yang hendak menelusuri Wakatobi lebih dekat. Sedekat Prabowo ketika menyentuh karang-karang yang tumbuh subur di bawah laut Wakatobi. Kami pun melaju menuju hotel Wisata untuk meminjam perlengakapan menyelam. Semua orang tahu bahwa Wakatobi sangat terkenal dengan keindahan pemandangan bawah lautnya. Namun, kali ini, aku tak memikirkan lagi apakah aku akan menyelam atau tidak. Karena jelas, jawabannya adalah tidak. Tentu kalian sudah tahu apa alasannya.

Hotel Wisata
Hotel Wisata

Prabowo saat menyelam
Prabowo saat menyelam

Kulihat para turis domestik tengah merapatkan kapal kayunya di pinggiran dermaga Sombu. Dengan duduk bersila di ujung dermaga, aku dan Shabrin mengamati keindahan laut, langit dan aktivitas anak-anak Wakatobi yang bersatupadu. Aku berpikir tentang rencana Allah yang luar biasanya indah dan bermakna ini. Apakah kata kunci dari perjalanan ini adalah “sederhana” seperti yang kulihat pada sosok mahasiswa Haluoleo tadi malam? Mungkin saja iya dan mungkin saja tidak.

Pemandangan bawah laut Wakatobi dilihat dari atas permukaan laut
Pemandangan bawah laut Wakatobi dilihat dari atas permukaan laut

Aktivitas anak-anak Wakattobi saat menangkap ikan di perairan Sombu
Aktivitas anak-anak Wakattobi saat menangkap ikan di perairan Sombu

Kami pun melanjutkan perjalanan menuju dataran tertinggi Wangi-wangi di daerah Toliamba. Sebuah daerah yang terkenal dengan papan tulisan “Wakatobi” yang menjadi daya tarik tersendiri bagi para turis. Unik! Itulah Wakatobi dengan segudang ciri khas yang dimilikinya. Bahkan di daerah pesisir seeprti ini pun kami masih menjumpai dataran tinggi seperti ini. Setelah puas menikmati pemandangan dari atas, kami pun bergegas untuk kembali ke rumah. Dan di depan gang Wakatobi ini, kami melepas Shabrin yang hendak pulang ke rumahnya di penghujung senja hari ini.

Toliamba, puncak tertinggi Wakatobi
Toliamba, puncak tertinggi Wakatobi

Toliamba, puncak tertinggi Wakatobi
Toliamba, puncak tertinggi Wakatobi

Gang Wakatobi
Gang Wakatobi

Bersambung...

Indonesia Youth Forum 2014: Jika Aku Menjadi Seperti Mereka

Langit Wakatobi pagi ini terlihat mendung. Gugusan awan pekat terus-menerus mengikutiku dan teman-temanku yang sedang meluncur menuju pemukiman suku Bajo. Aku yang duduk di kursi paling belakang sejenak meresapi butiran-butiran air hujan yang jatuh dan mengalir di jendela mobil. Dan hingga akhirnya aku melihat gapura “Welcome to Bajo Village, Wakatobi Regency” tegak menghadangku. Sepertinya, dia masih sangat antusias menyambut rombonganku di antara rintiknya air hujan pagi ini. Aku dan keempat temanku pun seketika berlari menuju sebuah mushola yang telah dibanjiri oleh lautan manusia berkaos orange.


Gapura suku Bajo
Gapura suku Bajo

Lautan kaos orange di depan mushola daerah Mola
Lautan kaos orange di depan mushola daerah Mola
Pagi ini, kami akan mengadakan kegiatan bersih-bersih di daerah pemukiman suku Bajo. Sebuah suku yang memiliki nilai historis bagi kabupaten Wakatobi. Hingga saat ini, suku Bajo masih sangat mengandalkan lautan sebagai tempat memperjuangkan kebutuhan hidup. Mereka masih saja tinggal di rumah panggung yang terletak di pinggiran lautan. Bahkan, sejarah mengungkapkan bahwa dulunya pinggiran laut ini adalah lautan lepas. Aku seketika membayangkan kehidupan mereka yang harus rela beristirahat di tengah pasangnya air laut yang tak terduga. Ditambah lagi, kotornya lingkungan dan kelembapan tempat yang sangat tinggi memicu berkembangnya sebuah bibit penyakit.

Ketika hujan tak lagi mengguyur daratan Wakatobi, kami mengawali kegiatan ini dengan memunguti sampah yang berserakan di antara rumah-rumah penduduk. Di sepanjang perjalanan, sesekali kami menyapa penduduk yang terlihat bersantai di teras mereka. Dengan senyum simpul yang diselingi tawa, mereka membalas sapaan kami dengan ramah. Kami pun melanjutkan perjalanan berburu sampah di antara padatnya pemukiman suku yang memiliki kebiasaan menggunakan bedak adem ini.

Bersih-bersih pemukiman suku Bajo
Bersih-bersih pemukiman suku Bajo

Masyarakat suku Bajo yang memiliki kebiasaan menggunakan bedak adem
Masyarakat suku Bajo yang memiliki kebiasaan menggunakan bedak adem

Selama kegiatan berlangsung, aku belajar tentang seluk beluk suku yang bermukim di daerah Mola ini. Masyarakat di sini dapat dikategorikan memiliki kesadaran rendah terkait dengan hal pembuangan sampah. Terbukti, kami mengumpulkan banyak sampah rumah tangga tepat di bawah rumah-rumah panggung mereka. Sungguh ironis sebenarnya melihat fenomena ini. Namun, buat apa berkomentar tanpa ada aksi? Akupun menyadari bahwa aku juga pernah dan terpaksa membuang sampah di sembarang tempat. Aku juga tak selalu membuang sampah yang aku lihat di jalanan. Seketika pikiran ini melayang memikirkan hal itu. Apakah aku adalah tipe orang yang hanya akan bergerak bila mengikuti forum-forum seperti ini? Jika memang tidak, tentunya aku tak boleh malu memunguti sampah yang sering berserakan di lingkungan rumah dan kampusku. Forum ini ibaratnya menjadi ajang untuk belajar dan menjaga konsistensi diri yang ‘katanya’ ingin mengabdikan diri kepada ibu pertiwi. Aku harus banyak belajar tentang menjaga konsistensi idealisme ini.

Kunjungan ke masyarakat suku Bajo
Kunjungan ke masyarakat suku Bajo
Masyarakat suku Bajo
Masyarakat suku Bajo

Masyarakat suku Bajo
Masyarakat suku Bajo
Meskipun masyarakat ini masih tergolong sederhana, namun ada beberapa hal yang aku suka dengan masyarakat ini. Entah kenapa terkadang aku berpikir, bagaimana rasanya jika aku menjadi seperti mereka? Tentunya aku akan pintar berenang, membudidayakan ikan, pintar menyelam atau bahkan aku akan pintar menjahit jala yang telah rusak. Mungkin, aku juga akan selalu menikmati indahnya Wakatobi dikala fajar dan senja menyapa. Hal-hal seperti itu tak akan aku dapatkan di kehidupanku dan tempat tinggalku saat ini. Sungguh, tiap-tiap orang memiliki keunikan kehidupannya masing-masing yang tak dapat kita sesali satu dan lainnya.

Kolam ikan masyarakat suku Bajo
Kolam ikan masyarakat suku Bajo

Masyarakat Bajo sedang menjahit jala
Masyarakat Bajo sedang menjahit jala

Anak suku Bajo yang memancing ikan hanya dengan menggunakan sehelai senar pancing
Anak suku Bajo yang memancing ikan hanya dengan menggunakan sehelai senar pancing

Rintik hujan tiba-tiba datang lagi. Aku dan teman-temanku seketika bergegas mencari mobil orang tua angkat masing-masing. Dengan mengikuti langkah Shabrin, Prabowo dan kedua temanku, kami mencari dan menengok satu per satu mobil yang terparkir di sekitaran jalanan suku Bajo. Hasilnya nihil. Kami tak menemukan mobil orang tua angkat kami. Padahal, kini kami telah berada di gapura depan suku Bajo. Prabowo sibuk dengan ponselnya mencoba menghubungi supir yang biasanya mengantar-jemput kami. Kami pun terpaksa kembali menyusuri jalanan untuk menemukan mobil berpelat merah itu.

Ketika mobil telah kami temukan, kami bergegas untuk menuju Sombu. Sebuah area divingdan snorkling yang sangat terkenal keindahannya di Wakatobi. Kegiatan yang satu ini sangat mengusik diri ini. Bagaimana tidak? Aku tentunya tak mau melewatkan kesempatan emas ini. Namun, sayangnya aku tak bisa berenang. Padahal, sewaktu kecil rumahku berada di bantaran kali di daerah Demak. Aku dulu juga pernah berlatih berenang. Namun, aku masih belum bisa juga. Bahkan, aku beberapa kali tenggelam.

Sombu
Sombu

Sombu
Sombu


Tak lama sejak kami sampai di Sombu, hujan deras turun diikuti dengan angin kencang di daerah lautan. Aku tambah berpikir tentang keinginanku untuk ‘mencoba’ menikmati pemandangan bawah laut Wakatobi. Namun, ya sudahlah. Mungkin, Allah punya rencana lain di balik kejadian ini. Akhirnya, aku hanya bisa memandangi teman-temanku yang sedang asyik berenang di lautan dengan sesekali menengadahkan pandanganku ke atas langit. Menikmati butiran-butiran hujan yang beraroma khas Wakatobi.

Ketika hujan mengguyur Sombu
Ketika hujan mengguyur Sombu

Seperti layaknya tadi pagi, kami tak menemukan mobil kami lagi. Kami pun setia menunggu supir untuk beranjak pulang menyantap makan siang yang telah disediakan. Aku dan beberapa teman lainnya pun terlihat tengah sibuk mencari kerang dan pasir Wakatobi untuk dibawa pulang ke daerah kami masing-masing. Maklum, pasir dan kerang di sini sangatlah bagus untuk dijadikan cenderamata. Setelah mobil kami datang, kami pun berpamitan dengan teman-teman kami lainnya yang belum juga dijemput oleh orang tua angkat mereka.

***
Brakkk... Aku hanya bisa merebahkan tubuhku di atas tempat tidur berwarna biru tua yang senada dengan warna dinding di kamar ini. Sepertinya, aku telah lelah sekali akibat beraktivitas seharian tadi. Kini yang aku inginkan hanyalah tidur dan melupakan kegiatan selanjutnya yang rencananya akan diadakan siang ini. Terdengar jahat dan licik memang! Tapi, beginilah pikiran seorang lelaki yang sudah terlalu lelah seperti aku.

“Woy, bangun!,” suara teriakan Julio terdengar jelas di telingaku. Dengan kondisi jiwa yang masih belum utuh, akupun bersiap-siap menuju sebuah padang rumput untuk melakukan sebuah aksi. Aksi penanaman pohon massal yang dilakukan untuk mengawali pembangunan Tugu Cagar Biosfer di daratan Wakatobi ini. Acara yang dihadiri oleh puluhan pejabat ini menggundang decak kagum tersendiri bagiku. Sebuah pulau terpencil yang ternyata menyimpan semangat perubahan yang bergelora. Seperti apa yang dikatakan oleh Renald Kasali, seorang pendiri Rumah Perubahan bahwa “perubahan itu adalah proses untuk menjadi sesuatu berbeda dari yang biasanya”. Dan menurutku, Wakatobi telah melakukan proses itu. Bahkan, di daratan pulau Wangiwangi ini, aku menjumpai ruang hotspot terbuka yang terletak di tugu penghargaan UNESCO yang khusus didirikan untuk masyarakat Wakatobi. Sungguh, inilah perubahan yang sesungguhnya.

Peresmian Tugu Cagar Biosfer
Peresmian Tugu Cagar Biosfer

Peletakan batu pertama Tugu Cagar Biosfer
Peletakan batu pertama Tugu Cagar Biosfer

Tugu UNESCO di daratan Wakatobi
Tugu UNESCO di daratan Wakatobi

Similir angin yang lumayan kencang menghempaskan segala yang ada di padang rumput sore ini. Aku yang sedari tadi berjalan hilir mudik, ke sana kemari tak kunjung juga menemukan pohon yang bertuliskan namaku. Kulihat teman-temanku yang lain telah menemukan pohon yang bertuliskan nama mereka. Dengan menikmati udara sore yang dibalut dengan suasana mendung, aku mengambil salah satu pohon yang tak bernama untuk kutanam di tanah Wakatobi ini. Aku berpikir bukankah yang terpenting adalah esensi daripada penanaman ini? Sama sekali tak ada masalah entah  ada nama kita atau tidak dalam bambu peyangga pohon ini. Guyuran air dari tanki di pinggiran padang rumput seolah menjadi pembuka guyuran air hujan sore ini.

Penanaman pohon
Penanaman pohon

Ya, lagi-lagi Wakatobi diguyur hujan lebat sore ini. Aku dan mbak Inayah pun seketika berlari di bawah guyuran air hujan yang terasa semakin deras. Kurasakan setiap butir hujan yang jatuh membasahi tubuhku. Sangat kurasakan. Begitu indah dan damainya seperti keindahan ketika aku melihat gugusan langit fajar dan senja. Biarkanlah aku menjadi seperti ini. Menjadi sesosok manusia yang memiliki kehidupan dan kesenangan tersendiri. Aku memang diam. Tapi, bukan berarti aku terdiam. Karena dalam diamku, aku selalu berpikir bahwa aku sama sekali tak mengharap menjadi seperti suku Bajo, teman-teman IYF atau bahkan menjadi seseorang yang lain. Jika aku benar-benar menjadi seperti yang lain, aku rasa aku tidak akan lagi menjadi diriku yang sebenarnya. Menjadi diriku yang suka melihat keadaan langit, meresapi udara pagi, sore dan malam hari, merasakan lembutnya butiran hujan dan mengamati setiap detil kejadian tentang manusia. Aku tetaplah aku. Bukan yang lain.

Bersambung...

Indonesia Youth Forum 2014: Menguak Secuil Surga di Daratan Matahora

Hari ini adalah hari Jumat, hari keduaku berada di Wakatobi. Kurenggangkan tubuhku yang terasa sedikit kaku dengan melihat pemandangan di luar kamar. Tadi malam aku bergulat dengan perasaan tak enak karena tak kebagian tempat tidur di kamarku. Semua temanku terlihat telah terlelap. Aku yang baru saja menikmati suasana pantai mendadak bingung akan tidur di tempat tidur yang mana. Apalagi, aku termasuk anak baru di kamarku ini. Keluar dan menumpang di kamar sebelah pun seketika jadi ide brilliant bagiku. Namun, itu semua tak mungkin. Sekarang hari telah malam, kututup ponsel lipat pinjaman dari bapak angkatku dan membaringkan tubuh di antara delegasi lain yang telah tertidur.

Meskipun begitu, aku tak menyesal dan kecewa. Pemandangan pantai pagi ini seolah menjadi pemicu kebahagiaanku. Pohon-pohon kelapa, pasir pantai yang putih dan sinar mentari di ufuk timur menambah keindahan panorama resort ini. Riak debur ombak pun seolah tak ingin ketinggalan menyampaikan sambutan hangatnya kepadaku dan para delegasi. Dunia seakan betah bercengkerama dengan kami pagi ini. Namun, kami harus segera bersiap-siap untuk mengikuti agenda kami selanjutnya.

Pemandangan di pantai Patuno Resort
Pemandangan di pantai Patuno Resort

Pemandangan di pantai Patuno Resort
Pemandangan di pantai Patuno Resort
Suasana ramai ruang makan terdengar dari radius beberapa meter. Aku menjumpai meja makan yang penuh sesak dan keramaian. Sepertinya, para peserta tak ingin melewatkan jamuan khas daratan Matahora. Aku harus cepat-cepat berburu makanan. Tentunya, aku tak ingin kehabisan makanan lagi seperti kemarin siang. Canda, tawa, senyuman dan kekompakkan hadir mewarnai sorak-sorai delegasi yang sibuk mengantri makanan.

Patuno Resort
Patuno Resort

Patuno Resort
Patuno Resort

***

Pagi ini, aku dan teman-teman delegasi melaksanakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) di beberapa tempat yang telah ditentukan. Untuk pertama kalinya, aku mengenal teman-temanku yang memiliki orang tua angkat yang sama. Shabrin dari Wakatobi, Prabowo dari Lubuklinggau, Julio dari Aceh dan Mas Ishaq. Kami dan beberapa teman yang lain melaksanakan FGD di Liya Bahari. Sebuah tempat yang sangat indah dan eksotis. Aku bahkan tak dapat berkata apa-apa ketika melihat beberapa perahu kecil bersatu padu dengan pasir pantai yang putih. Kami berdiskusi dan mendengarkan presentasi dari beberapa delegasi di atas surau kecil di tengah pantai. Luar biasa. Rasanya aku ingin membiarkan diriku menikmati dan merasakan alam yang begitu indahnya. Jika aku memiliki banyak waktu di sini, aku ingin menghabiskan waktuku untuk duduk berdiam meresapi Liya Bahari yang begitu memukau pandangan mataku.

FGD di Patuno Resort
FGD di Patuno Resort

FGD di Liya Bahari
FGD di Liya Bahari

Liya Bahari
Liya Bahari

Liya Bahari
Liya Bahari
Di antara semilirnya angin pantai, aku belajar banyak dari para delegasi lain. Mereka begitu kreatif dan teguh untuk menjadi change maker di lingkungan masing-masing. Bahkan, mereka tak malu untuk menjadi penggerak meskipun sekadar memunguti sampah, bermain dengan adik-adik jalanan, mengajari masyarakat pola hidup sehat dan berwirausaha dengan memanfaatkan barang-barang bekas. Mereka dengan ikhlas menanamkan jiwa semangat kepada anak-anak untuk meraih impian-impian mereka. Aku tahu hal itu pasti tidaklah mudah. Namun, kuyakin lewat langkah-langkah seperti itulah negara kita akan menjadi negara yang makmur dan bahagia. Makmur karena memiliki pemuda-pemuda yang loyal dan bahagia karena memiliki anak-anak negeri yang tak hanya pandai berkhayal.

Keindahan Wakatobi tak hanya sebatas itu saja. Kabupaten yang mayoritas terdiri dari lautan ini masih memiliki banyak destinasi yang tak kalah indah dari Liya Bahari. Kami pun diajak berjalan-jalan mengunjungi tempat-tempat apik di sela-sela waktu istirahat acara. Sopir pak bos ini sungguh baik hati. Dia rela mengantarkan kami mengunjungi pantai di daerah Liya Mawi, mata air Kontamale dan Tekosapi. Tak ada satupun tempat yang tak mengesankan menurutku. Semuanya indah dan terawat.

Pantai di daerah Liya
Pantai di daerah Liya

Liya Mawi
Liya Mawi

Mata air Kontamale
Mata air Kontamale

Mata air Kontamale
Mata air Kontamale

Mata air Tekosapi
Mata air Tekosapi

Acara diskusi dilanjutkan dengan Master Class yang diisi oleh Mr. David dari Ford Foundation, mbak Ira dari Jembatani, kepala suku Bajo yang merupakan salah satu suku di Wakatobi dan beberapa tokoh hebat lainnya. Kami belajar banyak hal tentang pentingnya peran media dan frundaising (pendanaan/sponsor) dalam mengembang proyek sosial yang dikerjakan oleh pemuda. Salah satu kelemahan pemuda ketika ingin bergerak berkontribusi adalah kekurangan keuangan. Bukan tidak mungkin, seorang pemuda dapat bergerak mundur jika berurusan dengan hal yang satu ini. Meskipun, niat dan keyakinan masih menjadi hal yang mendasar. Namun, keuangan juga sangat berperan penting bagi suksesnya suatu proyek sosial. Kami dibekali tentang cara menarik simpati perusahaan agar mau menyeponsori proyek sosial yang kami kerjakan. Kami juga dibekali cara untuk menyusun proposal sponsorship yang baik dan benar. Usahakan untuk memilih perusahaan yang berkaitan erat dengan acara atau proyek sosial yang kita jalankan. Yakinkan perusahaan tentang hal-hal positif yang dapat kita berikan kepadanya. Susah memang. Namun, inilah tantangannya. Tantangan untuk terus berjuang dan bekerja keras. Meminta kepastian dan konfirmasi dari perusahaan yang menjadi sasaran sumber pendanaan kita.

Mr. David dari Ford Foundation
Mr. David dari Ford Foundation

Mbak Ira dari Jembatani
Mbak Ira dari Jembatani
Aku kadang berpikir bahwa Allah benar-benar Maha Besar Atas Segala Sesuatu. Menurutku, Dia juga merupakan Perencana yang Baik. Ilmu yang kudapatkan dari perjalanan awal hingga berada saat ini mendengarkan presentasi bukanlah sebuah kebetulan. Aku bahkan tak pernah membayangkan bisa berada di antara pemuda hebat se-Indonesia ini. Kudengarkan presentasi dari para tokoh dengan sesekali mengobrol dengan mas Farisal dari Surabaya dan mas Radit yang sepertinya kerap berada di dekatku dalam acara ini.
***

Petir tiba-tiba datang dan disambung dengan huyuran hujan deras membasahi daratan Wakatobi. Listrik padam, suara klakson mobil dan keramaian obrolan delegasi mewarnai pekatnya gedung Darma Wanita malam ini. Mobil-mobil orang tua angkat terlihat telah berjajar di depan ruangan. Menanti anak-anak angkat untuk segera diamankan menuju singgahsana yang telah disediakan. Beberapa kali kucoba melihat keluar, namun supir yang kucari tak kunjung kutemui. Aku hanya duduk terdiam di kursi terdepan dan mengamati teman-temanku yang sedang hilir mudik mencari informasi, mengobrol atau sekadar berfoto.

Tiba-tiba suara teriakan terdengar memanggilku.  Aku disuruh untuk masuk ke mobil yang kini telah akrab denganku. Seperti biasa, si supir terlihat penuh perjuangan, mencarikan payung untuk kami, ‘sang anak angkat dadakan’. Kami pun menyusuri jalanan Wakatobi yang beberapa di antaranya terlihat dalam keadaan gelap gulita. Meskipun diawali dengan perasaan ragu, kami akhirnya bersinggah ke sebuah kedai minuman. Minuman ini sejeniswedhang jahe, namun lebih terasa seperti wedhang kacang hijau. Kami pun mengakhiri malam ini dengan melanjutkan perjalanan menuju rumah orang tua angkat. Merebahkan badan di atas kasur yang empuk dan diwarnai dengan canda mas Ishaq serta cerita malam antara aku, Shabrin dan Julio.

Bersambung...